PWMU.CO – Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) berkunjung ke Muhammadiyah Islamic College (MIC) Singapura pada Jumat (13/12/2024). Mereka ingin mempelajari MIC yang sudah berdiri di Singapura sejak tahun 2001.
Terletak di pinggir jalan Lorong 13 Geylang, Singapura, kampus mungil yang memiliki 7 lantai dengan model ruko (rumah toko) ini sepintas terlihat seperti tempat bisnis. Ternyata, bangunan itu ditata rapi untuk tempat pendidikan agama Islam, dengan model kursus dan pendidikan akademik. Suatu aktivitas yang tidak terlalu populer bagi negara Singapura yang sekuler dan modern itu.
Semua anggota BPH UM Surabaya diterima oleh Direktur MIC, Faiszah Abdul Hamid MS. Mereka diterima seorang diri oleh Faiszah di ruang pertemuan lantai 2 gedung MIC. Kunjungan BPH UM Surabaya ini dipimpin oleh Ketua BPH, Dr Sulthon Amien, diikuti Prof Dr Zainudin Maliki, Dr Syamsudin MA, Dra Siti Dalilah Candrawati MAg, Indra Nur Fauzi SE MM MA, Muhammad Budi Pahlawan SH Notaris, dan Aribowo.
Pertemuan tersebut berlangsung santai dengan saling mengisi pembicaraan satu sama lain. Direktur MIC, Faiszah, yang juga seorang ahli psikologi, membawa suasana pertemuan terasa santai dan informal. Ia menjelaskan para pimpinan MIC lain sedang ada aktivitas, sehingga terpaksa Direktur sendiri yang menerimanya.
MIC sebagai lembaga pendidikan Islam di Singapura pada awal berdirinya di tahun 2001, bekerja sama dengan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat. Meski belum tumbuh sebagai perguruan tinggi (PT) yang kuat, namun MIC merupakan satu-satunya lembaga kursus agama Islam pasca sekolah menengah atas di Singapura.
Visi Pendidikan Islam
Jika menilik visi MIC, jelas untuk mengembangkan dan mengamalkan agama Islam. MIC menetapkan visi yang intinya memberikan pendidikan, pembelajaran, dan keterampilan yang relevan dengan kemajuan zaman. Di samping itu, MIC juga berusaha menghasilkan masyarakat Islam yang berpedoman pada al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. MIC jugamendasarkan warisan peradaban Islam sebagai dasar pendidikan siswa di dalamnya.
MIC dianggap sebagai pelopor lembaga pendidikan Islam pasca-sekolah menengah di Singapura pada masa kini. MIC bercita-cita menjadi penyedia utama pendidikan Islam di tingkat tersier. MIC sudah mencapai beberapa tonggak sejarah sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam di Singapura.
Sejak berdiri pada 2001, MIC sudah menghasilkan 4 angkatan lulusan dengan gelar sarjana, diploma, dan sertifikat. MIC terdaftar di Kementerian Pendidikan Singapura dan diakui sebagai Lembaga Pendidikan Islam swasta. MIC mengisi kesenjangan utama dalam komunitas muslim untuk pendidikan Islam tersier. Sebagai lembaga tersier, MIC memiliki peran streategis dalam menyediakan pengetahuan holistik yang dakan membentuk nilai-nilai dan kualitas pemimpin masa depan.
Pendidikan di MIC berfungsi sebagai jembatan bagi seseorang dalam berjuang untuk mengaktualisasikan prinsip-prinsip dan konsep-konsep al-Quran yang diperoleh dalam mengejar sertifikat, diploma atau gelar. Dengan demikian, para lulusan dari lembaga pendidikan ini diharapkan dapat mewujudkan semangat al-Quran dan kehidupan Nabi Muhammad Saw.
Demi mencapai pengalaman belajar holistik, MIC memiliki staf pengajar yang berkualitas dan ahli di bidangnyaa dengan kualifikasi pendidikan yang sama dengan perguruan tinggi. Muhammadiyah Association (MA), sebuah organisasi sosial-keagamaan yang bersifat swadaya dan berdiri pada 1957, menjadi pihak yang berperan dalam mendirikan MIC Singapura. MIC merupakan salah satu dari sekian banyak lembaga sosial yang didirikan oleh MA untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
MIC juga bekerja sama dengan lembaga pendidikan Islam di luar Singapura, terutama dari Indonesia. Di tahun 2011, MIC melakukan kerja sama dengan Institut Studi Islam Darussalam Indonesia. Kerja sama tersebut antara lain dalam bidang tukar menukar siswa, melakukan workshop bersama, pelatihan program, kerja sama dalam riset dan pengembangan proyek dua lembaga tersebut, serta kerja sama pendidikan.
MIC Bukan Perwakilan PP Muhammadiyah
Faiszah menjelaskan bahwa MIC tidak ada hubungannya dengan PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) Singapura.
“Tak ada hubungan secara kelembagaan. Kami sudah lama beroperasi sendiri. Kami menyadari perlunya relasi, kerja sama, dan bahkan evaluasi dari PCIM,” urai Faiszah dengan ramah saat menjawab pertanyaan Dr Sulthon Amien tentang hubungan dengan PCIM Singapura.
Diakui Faiszah MIC terasa sendiri, meskipun sudah pernah bekerja sama dengan beberapa Lembaga Pendidikan Islam, baik dari Singapura maupun luar, utamanya dari Indonesia.
“Posisi seperti itu menyebabkan MIC saat ini kurang leluasa bergerak. Termasuk susah mengembangkannya,” katanya lebih lanjut.
Menurut Faiszah saat ini ada 320 siswa yang menjalani studi di MIC dalam 3 jenis studi: tingkat sertifikat, diploma, dan degree. Semua siswa itu berasal dari Singapura, sedangkan alumni MIC bisa melanjutkan studinya ke luar negeri, baik Indonesia, Timur Tengah, atau negara lainnya.
Hambatan dana, pengembangan manajemen pendidikan yang masih sederhana, dan aturan dari pemerintah Singapura yang ketat terhadap pendidikan agama menjadi problem yang harus dihadapi oleh MIC. Faiszah menerangkan bahwa pemerintah Singapura bukan melarang pendidikan agama, namun semua agama mendapatkan aturan secara ketat.
“Wakil pemerintah adalah MUIS (Majelis Ulama Islam Singapura). Semua distribusi, bantuan dana, dan pembangunan masjid harus mendapat rekomendasi dari MUIS. Tanpa MUIS, maka pemerintah akan menolaknya,” jelas Faiszah lebih lanjut.
MUIS berperan mengurus administrasi dan kepentingan masyarakat muslim Singapura. Majelis ini dipimpin oleh sebuah Dewan, di mana para anggotanya diangkat oleh Presiden Singapura. Sejak tahun 2009, dewan tersebut berkantor pusat dalam Pusat Islam Singapura, yang terletak di samping Braddell Road.
Menurut Faiszah, hambatan mengapa Muhammadiyah susah berkembang di Singapura karena masyarakat Singapura baik yang muslim maupun bukan, banyak yang salah memahami Muhammadiyah. “Banyak masyarakat berhati-hati untuk belajar di MIC, karena mereka menganggap Muhammadiyah masuk golongan Wahabi. Padahal kami, Muhammadiyah, berbeda dengan Wahabi,” katanya detail.
Perlu Penguatan Kelembagaan
Mengomentari berbagai keterangan Direktur MIC, beberapa anggota BPH UM Surabaya merasa salut dan prihatin. Mereka merasakan suka duka mengembangkan dakwah Muhammadiyah, Islam Berkemajuan, di negara yang Islamnya minoritas. Dalam keterbatasan itulah para anggota BPH merasakan semangat besar para aktivis MIC.
Menurut Dra Siti Dalilah Candrawati MAg, yang mendesak adalah MIC membutuhkan penguatan kelembagaan dari Asosiasi Muhammadiyah setempat (Singapura).
“Apapun masalahnya, MIC membawa nama Muhammadiyah. Berdasarkan keterangan Ibu Direktur, MIC juga membawa semangat Islam Berkemajuan. Karena itu, penguatan, relasi, dan kerja sama dengan PCIM Singapura sangat dibutuhkan,” terang dosen UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut lebih lanjut.
Di sisi lain, menurut Dalilah, bantuan dana dari Pemerintah Singapura terbatas sehingga semangat besar Direktur Faiszah dalam mengelola MIC terasa sendirian.
Sementara itu Budi Pahlawan merasakan susahnya bergerak bagi Muhammadiyah di Singapura, meskipun peluang itu telah ditunjukkan oleh MIC.
“Saya pikir ada kaitan dengan PCIM Singapura. Ternyata tidak ada hubungan. Ini menjadi pemikiran kita bersama,” komentar BPH UM Surabaya yang berprofesi sebagai notaris tersebut.
Pendapat senada juga dikatakan oleh Dr Syamsudin MAg. Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya itu menganggap jarak antara MIC dan MUIS menjadi satu kendala.
“Muhammadiyah Islamic College tidak jauh beda, karena belum mampu menembus MUIS sehingga belum bisa sejajar dengan lembaga semacam madrasah Aljuned. Juga belum bisa lepas dari stigma wahabisme,” kata Syamsudin.
Lebih lanjut, Syamsudin menganggap MIC juga perlu fokus meyakinkan masyarakat bahwa dirinya bukan Wahabi. “Muhammadiyah bukan Wahabi. Memang tidak mudah, namun itu harus dilakukan,” ujar Syamsudin.
Di sisi lain, Syamsudin juga mengakui bahwa dua lembaga pendidikan Islam di Singapura sudah bagus, yakni MIC dan Madrasah Aljuned. “Mereka sangat luar biasa,” lanjutnya memberi kesimpulan. (*)
Penulis Aribowo Editor Wildan Nanda Rahmatullah