Oleh Nashrul Mu’minin – Cokro muda Yogyakarta
PWMU.CO – Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menginstruksikan kepada Ketua Pemuda Katolik Stefanus Gusma agar setiap kendala yang dialami umat Kristiani dalam menjalankan ibadah Misa Natal atau perayaan Natal segera dilaporkan ke Kepolisian, TNI, bahkan juga dirinya. Pernyataan itu disampaikan Gibran saat memberikan sambutannya di Gedung Konferensi Wali Gereja (KWG), Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Pernyataan Gibran itu tidak hanya menarik perhatian media, tetapi juga mengusik komentar publik. Karena itu, dalam konteks ini penting untuk melihat bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran untuk dapat memberi perspektif secara kritis terhadap pernyataan tersebut.
Toleransi dalam Al-Quran
Dalam Kitab Suci Al-Quran, terdapat perintah yang menekankan pentingnya toleransi dan saling menghormati antar umat beragama. QS Al-Kafirun, misalnya, Allah berfirman:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku“
Ayat ini mengajarkan bahwa setiap individu harus dihormati haknya dalam hal berkeyakinan, termasuk memeluk agama. Merayakan agama merupakan hak masing-masing pemeluknya tanpa intervensi dari pihak lain.
Meski ayat suci tersebut sangat jelas, dan pernyataan Gibran diatas yang dilandasi tujuan positif untuk menjaga kerukunan, penekanan pada kata “laporkan” dapat menimbulkan persepsi negatif. Masyarakat justru menjadi merasa tidak nyaman dalam merayakan hari besar keagamaannya. Sebagai seorang wakil kepala negara (wakil presiden), seyogyanya Gibran bisa menggunakan diksi atau bahasa yang lebih inklusif dan dialogis.
Dialog Antarumat Beragama
Penting kita untuk mengingat bahwa Al-Quran sangat menekankan adanya komunikasi yang baik antar umat beragama. QS Al-Ankabut ayat 46, Allah berfirman:
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, kecuali dengan cara yang terbaik…“
Gibran seharusnya mampu mengemas menjadi narasi yang dialogis, sehingga mendorong adanya solusi yang humanis, daripada menekankan pada penegakan hukum yang lebih terkesan represif dan berpotensi memantik ketegangan antar umat beragama. Faktanya, pernyataan Gibran tersebut menyulut reaksi beragam.
Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Dalam konteks ini, Gibran perlu mempertimbangkan hak setiap individu untuk merayakan agamanya tanpa rasa takut. Al-Quran juga menegaskan hak ini dengan jelas dalam Surah Al-Baqarah ayat 256:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan dalam beragama“
Ini menunjukkan bahwa setiap individu berhak untuk memilih dan merayakan agamanya dengan bebas. Karena itu pernyataan Gibran seharusnya lebih mengedepankan perlindungan hak-hak tersebut. Pemerintah harus bertanggungjawab dalam melindungi hak warga. Karena itu, kurang bijak jika Gibran membuat pernyataan-pernyataan yang kesannya reaktif.
Kesan negatif dan solusi alternatif
Timbulnya kesan negatif atas pernyataan Gibran bisa menodai citra pemerintah di mata masyarakatnya. Indonesia ini terkesanal sebagai negara dengan heterogenitas agama dan keyakinan yang tinggi.
Alangkah bijaksananya jika Gibran bisa lebih mendorong tumbuhnya kegiatan sosial lintas iman/agama dengan melibatkan semua elemen masyarakat. Dengan kegiatan sosial tersebut berpotensi memperkuat rasa persatuan dan kesatuan dalam masyarakat yang majemuk.
Pendidikan untuk memiliki sikap toleran seharusnya telah ada sejak dini. Firman Allah dalam Al-Quran mengingatkan pentingnya menghargai perbedaan. Dalam QS Al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal”
Melalui pendidikan yang inklusif, generasi penerus akan lebih memahami pentingnya toleransi dan berkehidupan secara harmonis. Toleransi dan saling menghormati — termasuk dalam hal agama — adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi, karena tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran.
Komunikasi yang baik, berdialog yang gayeng merupakan jalur bijaksana untuk mewujudkan kehidupan yang toleran, termasuk dalam hal saling menghormati terhadap perayaan keagamaan masing-masing. Ironisnya, penguasa (baca: pemerintah) seringkali lebih mengutamakan pendekatan hukum yang represif.
Terakhir, sangat penting untuk mengingat kembali bahwa keragaman dan keberagaman merupakan kekuatan utama bangsa. Mengedepankan dialog dan saling pengertian pasti memperkuat hubungan antarumat beragama dan dapat menghindari konflik yang tidak perlu. Membuka pintu dialog dan menjunjung tinggi toleransi, pasti akan membawa manfaat besar bagi masyarakat, bagi stabilitas dan kemajuan negara secara keseluruhan.
Editor Notonegoro