PWMU.CO – Pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia kembali menjadi isu hangat yang kembali diperbincangkan, terutama terkait wacana pemilihan oleh DPRD. Sistem ini dinilai lebih efisien dibandingkan pemilihan langsung oleh rakyat yang memakan biaya besar. Namun, efisiensi ini dibayangi kekhawatiran mengenai kemunduran nilai demokrasi.
Dari perspektif hukum, konstitusi Indonesia memungkinkan keduanya, asalkan dilakukan secara demokratis. Salah satu dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Sholahuddin Al-Fatih turut memberikan tanggapannya terkait hal itu.
“Undang-Undang Dasar 1945 tidak menentukan secara spesifik apakah kepala daerah harus dipilih langsung atau melalui DPRD. Keduanya diperbolehkan selama dilakukan secara demokratis. Dapat ditekankan bahwa demokrasi tidak hanya berarti pemilihan langsung, tetapi juga dapat diwujudkan melalui representasi oleh DPRD. Salah satu alasan utama yang mendukung sistem pemilihan oleh DPRD adalah efisiensi anggaran,” jelasnya.
Pilkada langsung membutuhkan dana besar untuk mencetak surat suara, mendistribusikan logistik, hingga pelaksanaan kampanye. Di beberapa daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) rendah, seperti di Indonesia Timur, biaya pilkada bahkan menyedot lebih dari setengah pendapatan daerah. Padahal dana itu seharusnya digunakan untuk pembangunan.
“Pilkada langsung di daerah-daerah rawan seperti Papua sering kali menimbulkan konflik antar pendukung yang berujung kekerasan. Bahkan ada laporan tentang hilangnya nyawa akibat perseteruan politik. Maka pemilihan melalui DPRD dapat mengurangi potensi konflik semacam itu karena hanya melibatkan anggota DPRD sebagai pemilih,” katanya.