PWMU.CO – Beberapa waktu lalu, tepatnya pada momen HUT ke-60 partai Golkar, Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia mengusulkan agar Pilkada dipilih DPRD.
Presiden Prabowo pun sepakat dengan usulan tersebut. Menurutnya, hal tersebut bisa menekan anggaran yang dialokasikan untuk pelaksanaan Pilkada secara langsung.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH turut bersuara terkait wacana tersebut.
Wacana Sejak Zaman SBY
Sebenarnya, rencana Pilkada dipilih DPRD sempat akan direalisasikan pada era SBY oleh Gamawan Fauzi yang pada saat itu merupakan Menteri Dalam Negeri. Ia menyuarakan wacana pemilihan oleh DPRD berbasis pada hasil riset Doktoralnya.
Gamawan menjelaskan bahwa proses pemilihan kepala daerah oleh rakyat secara langsung memiliki sisi negatif yang potensial kian memburuk, yakni potensi kian transaksionalnya proses Pilkada, serta beberapa dampak buruk lain yang potensial semakin menguat.
Namun hal tersebut menuai banyak kritik dan banyak menerima penolakan. Hingga akhirnya, rencana tersebut ditiadakan melalui terbitnya peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu).
Dianggap Memangkas Anggaran
Salah satu rekomendasi hasil kajian Gamawan Fauzi saat itu menyatakan bahwa Pilkada melalui wakil rakyat lebih efisien dari segi pembiayaan dibandingkan dengan Pilkada langsung.
Di samping itu, potensi konflik horizontal akibat Pilkada lebih dapat dikurangi dan dikendalikan.
“Efisiensi yang saya maksudkan disini terkait dengan penggunaan uang negara dan daerah untuk proses Pilkada,” katanya.
Namun, tambah Dr Rifqi, biaya politik yang dikeluarkan oleh para aktor politik selama proses tersebut belum tentu lebih murah dari skema Pilkada langsung.
Ia berkata, “Jangan lupakan juga, bahwa ongkos politik para politisi dalam mencapai kekuasaannya akan sepenuhnya ditanggung oleh rakyat dan negara, dengan berbagai bentuknya.”
Wacana Pilkada dipilih DPRD Hanya Aspirasi Kelompok
Dr Rifqi mengatakan, “Secara pribadi saya menilai bahwa wacana Pilkada oleh DPRD merupakan aspirasi kelompok yang saat ini berkuasa.”
Wacana Pilkada dipilih DPRD, imbuhnya, harus dilihat sebagai upaya dari kubu Kabinet Indonesia Maju (KIM) yang saat ini mendominasi parlemen untuk menguatkan dominasi dan hegemoninya. Tidak hanya di level pemerintah pusat, tetapi juga di level pemerintahan daerah.
Dosen Prodi Hukum itu berkata, “Karena wacana tersebut lebih didasari oleh aspirasi kekuasaan, maka kiranya tidak relevan untuk meletakkan wacana tersebut dalam diskursus keilmuan dan peradaban.”
Menurutnya, kondisi tersebut memerlukan peran akademisi dan Non Government Organization (NGO) untuk mengajukan argumentasi tandingan guna menjaga kelurusan arah demokrasi yang coba dibajak oleh kelompok berkuasa.
Akankah Ada Orde Baru Part 2?
Menurut ketua Lembaga Kantor Bantuan Hukum (LKBH) Umsida itu, Pilkada dipilih DPRD atau secara langsung oleh rakyat tidak ada bedanya.
Selama dilaksanakan sesuai prinsip Pemilu yang harus langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, skema manapun akan merepresentasikan spirit negara hukum demokrasi.
Namun, ujarnya, wacana Pilkada dipilih DPRD tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan KIM untuk mengkonsolidasikan kekuasaan politik di seluruh Indonesia di bawah kendalinya.
“Berdasarkan latar belakang wacana tersebut, asumsi bahwa Pilkada dipilih DPRD akan mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru bukan sesuatu yang mengada-ada,” tegas dosen lulusan S3 Ilmu Hukum UM Surakarta itu.
Dengan koalisi dominan yang dimiliki oleh KIM, menurutnya, skema Pilkada dipilih DPRD akan menjadi alat paling efektif untuk mengontrol sirkulasi kekuasaan di daerah berada di tangannya.
Apalagi dengan kekuasaan politik di daerah yang terkontrol sedari pusat, proses pengambilan kebijakan di daerah akan sepenuhnya dapat dikendalikan dan sesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan pusat ketimbang aspirasi masyarakat di daerah.
Dr Rifqi berkata, “Jika skema tata kelola dan kebijakan berjalan demikian, maka era Orde Baru dapat dipastikan akan terulang kembali.”
Penulis Romadhona S Editor Wildan Nanda Rahmatullah