PWMU.CO – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, memberikan indikasi tentang kemungkinan kembalinya Ujian Nasional (UN) di sekolah. Ia menyatakan bahwa pihaknya telah mempersiapkan pelaksanaan UN di sekolah, meskipun menurut Mu’ti, UN tidak akan dilaksanakan pada tahun 2025.
Dilansir dari web um-surabaya.ac.id, menanggapi hal tersebut Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Achmad Hidayatullah memberikan tiga catatan penting jika UN kembali dilaksanakan.
Pertama, kata Dayat ada keyakinan di masyarakat yang berkembang bahwa UN dapat meningkatkan mutu pendidikan. Artinya, saat siswa mengerjakan UN pada mata pelajaran tertentu, secara tidak langsung siswa juga didorong untuk menganggap bahwa pelajaran lain yang tidak ada dalam ujian tidak penting.
“Hal ini cenderung mereduksi kemampuan individu untuk membentuk keyakinan bahwa ilmu pengetahuan terhubung satu sama lain yang selalu berkembang serta dinamis,” jelas Dayat Selasa (31/12/2024).
Kedua, kata Dayat UN sebaiknya jadi alat ukur ketercapaian saja bukan kelulusan. Pengalaman sistem pelaksanaan UN terdahulu justru menunjukkan sebaliknya.
“Ketika dijadikan alat ukur kelulusan siswa dan berlangsung tiga hari, sistem tersebut justru mendorong siswa untuk meyakini bahwa dalam belajar yang terpenting adalah hasil, sedangkan proses seperti ketekunan, rasa ingin tahu adalah nomor sekian,” ujar Dayat lagi.
Sistem Pengerjaan Ujian Nasional
Lebih lanjut lagi, kata Dayat sistem pengerjaan soal tes UN yang memakai jawaban benar atau salah, mendorong siswa untuk membentuk keyakinan tentang pengetahuan absolut, ada salah dan benar.
“Siswa tidak lagi berpikir reflektif maupun evaluatif terhadap sebuah teks soal. Wujudnya siswa lebih banyak investasi waktu untuk mempelajari teknis mengerjakan soal tes dan menghapalkan rumus dan definisi,” tambahnya.
Ketiga, sistem UN dan motivasi siswa. Ada keyakinan yang berkembang di masyarakat (beliefs) bahwa UN dapat memotivasi siswa untuk belajar. Sejak tidak ada UN siswa dan guru dianggap sama-sama tidak punya motivasi karena tidak dianggap memiliki tantangan.
“Belum ada riset yang menyebutkan bahwa UN di Indonesia dapat memotivasi belajar siswa. Meskipun kalau dicari-cari sumbernya, bisa saja dihubungkan dengan jenis penilaian tertentu yang berpengaruh terhadap motivasi belajar,” tambahnya lagi.
Dayat mencontohkan, ketika UN dihubungkan dengan penilaian sumatif atau penilaian yang dilakukan di akhir periode pembelajaran, hasil studi ini masih terjadi perdebatan.
“Studi systematics literature review (SRL) yang dilakukan oleh Wynne Harlen dkk (2002) menemukan bahwa penilaian sumatif cenderung memberi dampak negatif terhadap siswa,” tuturnya.
Sementara itu, hasil riset yang dilakukan Seyed M. Ismail dkk (2022) menyebutkan penilaian sumatif berdampak terhadap motivasi, namun dampaknya tidak sekuat penilaian formatif.
“Sayangnya, riset tersebut terikat konteks, ruang dan waktu yang berbeda. Sehingga tidak bisa digeneralisir dalam konteks UN di Indonesia,” tutup Dayat. (*)
Penulis Amanat Solikah Editor Azrohal Hasan