Oleh M Ainul Yaqin Ahsan – Penulis Buku Tuhan Tidak Bermain Dadu, Realitas Metafisik Alam Kuantum
PWMU.CO – Isra’ Mi’raj merupakan salah satu mukjizat luar biasa dari Allah SWT untuk Nabi Muhammad SAW. Hanya dengan satu malam, Nabi Muhammad secara horizontal melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (Isra’) dan berlanjut secara vertikal ke Sidratul Muntaha (Mi’raj). Perjalanan luar biasa yang menembus batasan ruang, waktu, dan logika manusia. Menganalisis dengan perspektif ilmu fisika modern, terdapat kemungkinan bahwa Isra’ Mi’raj melibatkan fenomena yang jauh melampaui kapasitas teknologi dan teori fisika konvensional.
Kecepatan Cahaya
Albert Einstein melalui Theory of Relativity menyatakan bahwa tidak ada entitas material yang bisa melaju dengan kecepatan melebihi atau bahkan mencapai kecepatan cahaya 3 × 10⁸ m/s atau 299.792 km/s. Jika sesuatu melaju mendekati kecepatan cahaya, maka membutuhkan energi untuk menjadi tidak terbatas. Dan waktu bagi pelaju tersebut akan melambat (time dilation).
Namun, kendati mungkin perjalanan Nabi Muhammad SAW dapat melibatkan kecepatan tinggi, penjelasan Einstein tersebut masih ini memiliki kelemahan:
Pertama, waktu terbatas. Meskipun dengan kecepatan cahaya, perjalanan semalam (kurang lebih 8 jam) tidak cukup untuk menjangkau alam semesta lain atau bahkan lintas galaksi. Diameter galaksi Bima Sakti diperkirakan sekitar 100.000 tahun cahaya. Jika Rasulullah SAW melakukan perjalanan dari Bumi ke ujung galaksi Bima Sakti, jaraknya adalah sekitar 9,4 x 10¹⁷ km. Sedangkan kebutuhan waktu untuk menempuh jarak tersebut dengan kecepatan cahaya adalah 100.000 tahun. Artinya, untuk sampai pada ujung galaksi Bima Sakti saja butuh 100.000 tahun dengan kecepatan cahaya (299.792 km/detik). Padahal jagat raya yang sudah berhasil teramati oleh manusia terdiri dari ratusan bahkan jutaan galaksi (apakah berarti ini masih langit pertama?).
Kedua, titik tujuan non-material. Sidratul Muntaha tidak sekadar entitas fisik dalam semesta material, tetapi mungkin mengacu pada realitas non-material, melibatkan dimensi yang sepenuhnya berbeda dari konsep ruang dan waktu.
Kendaraan Buroq
Buroq, kendaraan yang membawa Nabi Muhammad SAW, gambarannya sebagai makhluk bermateri cahaya. Dalam perspektif ilmu pengetahuan, cahaya memiliki sifat dualitas (partikel dan gelombang) yang memungkinkan energi cahaya bergerak dengan kecepatan luar biasa. Jika Buroq dipahami sebagai entitas berbasis cahaya, maka ia beroperasi dalam dimensi yang berbeda dari materi biasa.
Lebih jauh, dalam Al-Qur’an, malaikat digambarkan memiliki “sayap” yang mengindikasikan kecepatan luar biasa. Kecepatan ini bisa dipahami sebagai kecepatan lebih tinggi dari cahaya (supra-light speed), yang berada di luar jangkauan kemampuan teknologi manusia saat ini. Konsep ini juga selaras dengan teori relativitas Einstein, bahwa benda dengan massa nol, seperti foton (partikel cahaya) dapat bergerak dengan kecepatan cahaya tanpa batasan energi.
Alternatif pertama: Wormhole
Al-Qur’an surat An-Najm ayat 1-18, menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad SAW melihat tanda-tanda kebesaran Allah. Ayat-ayat tersebut menyiratkan keterlibatan dimensi yang melampaui persepsi fisik manusia biasa. Fenomena ini mirip dengan konsep wormhole atau lubang cacing dalam fisika teoretis, di mana perjalanan antar-dimensi atau melintasi ruang-waktu secara instan menjadi mungkin.
Teori fisika modern memberikan konsep alternatif seperti wormhole atau jembatan Einstein-Rosen. Wormhole memungkinkan perjalanan instan melalui shortcut antar-dimensi ruang dan waktu karena alternatif ini menghubungkan dua lokasi yang berjauhan di alam semesta. Penemuan ini bukan lagi sekadar teori fiksi ilmiah, tetapi memiliki landasan teoritis dari relativitas umum Einstein. Meskipun belum ada pembuktian secara empiris.
Dalam konteks Mi’raj, portal wormhole bisa untuk menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad: pertama, Melintasi dimensi lain. Dalam tradisi Islam, langit yang dimaksud mungkin tidak bersifat fisik melainkan lapisan dimensi yang bertingkat, seperti multiverse. Kedua, pertemuan dengan para Nabi. Jika alam semesta ini adalah bagian dari multiverse, kemungkinan adanya dunia atau realitas di mana para nabi sebelumnya tetap “hidup” sesuai kehendak Allah bisa diterima secara konseptual.
Alternatif kedua: mesin waktu
Isra’ Mi’raj tidak hanya melibatkan perjalanan horizontal dari Makkah ke Yerusalem, tetapi juga perjalanan vertikal menuju Sidratul Muntaha. Hal ini seolah menggambarkan Nabi Muhammad SAW keluar dari dimensi ruang-waktu linear dan memasuki dimensi non-linear atau melakukan perjalanan ke masa lalu atau masa depan. Dalam konteks ini, konsep mesin waktu relevan untuk menjelaskan bagaimana Nabi SAW bisa bertemu dengan nabi-nabi terdahulu seperti Nabi Adam, Nabi Ibrahim, dan Nabi Musa, meskipun mereka telah meninggal. Selain itu juga Nabi Muhammad ditunjukkan siksaan di neraka yang mengasumsikan bahwa beliau juga melakukan perjalanan kemasa depan.
Al-Qu’an Surat An-Najm ayat 14-18 menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW diperlihatkan “tanda-tanda yang sangat besar”. Hal ini menunjukkan keterlibatan dimensi yang tidak terikat oleh waktu sebagaimana manusia pahami. Dalam dimensi ini, masa lalu, masa kini dan masa depan bisa saling terhubung. Teori relativitas waktu mendukung kemungkinan ini, di mana kecepatan tinggi atau gravitasi ekstrem dapat memengaruhi jalannya waktu.
Alternatif ketiga: langit ketujuh dan multiverse
Langit dalam penjelasan tentang Isra’ Mi’raj bisa dianalogikan dengan hipotesis multiverse, yaitu teori yang menyatakan bahwa alam semesta kita hanyalah satu di antara banyak alam semesta yang eksis. Menariknya, para nabi terdahulu seperti Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, yang telah meninggal dalam dimensi dunia kita, bisa jadi masih eksis dalam dimensi lain. Bukti pendukung dari fisika modern: Teori String yang menyatakan adanya dimensi ekstra di alam semesta yang tak bisa kita pahami atau akses dalam kondisi normal. Dan Quantum Mechanics yang menjelaskan bahwa partikel bisa berada di dua lokasi sekaligus (quantum superposition), yang membuka peluang adanya fenomena “keberadaan simultan” dalam dimensi berbeda.
Dimensi metafisika dalam Isra’ Mi’raj
Selain sains modern, penting untuk mencatat bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj tidak bisa sepenuhnya terjelaskan melalui teori fisika atau teknologi konvensional. Mukjizat sifatnya melebihi akal manusia. Namun, sebagai Muslim yang memahami bahwa Al-Qur’an adalah sumber kebenaran, pendekatan ilmu tidak mengurangi iman, tetapi memberikan rasa kekaguman yang lebih besar kepada Sang Pencipta.
Al-Qur’an menyatakan:
سُبْحَانَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًۭا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَى ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
Artinya: Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Al-Isra: 1).
Meskipun masih menjadi misteri, fenomena ini memperlihatkan luasnya kuasa Allah SWT yang menciptakan langit, bumi, dan dimensi yang tak terjangkau logika manusia. Studi semacam ini membuka peluang bagi umat Islam untuk merenungkan hubungan sains dan agama, memahami alam semesta dan menjelajahi ilmu untuk menambah keyakinan. Dengan demikian, sains modern bukan menjadi alat untuk menafikan mukjizat, tetapi memperkuat keimanan. Wallahu a’lam.
Editor Notonegoro