
Oleh Abraham Adimukti – Wakil Ketua PCM Tandes Kota Surabaya, Anggota PD Pemuda Muhammadiyah Kota Surabaya
PWMU.CO – Sejak berdiri pada tahun 1912, Persyarikatan Muhammadiyah tanpa lelah untuk selalu berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Tidak hanya pada pelayanan sosial dan kesehatan, tapi juga pendidikan dan pembangunan kualitas sumber daya insani. Perjalanan Muhammadiyah membangun bangsa Indonesia tidak lepas dari konsepsi dalam memberikan pencerahan melalui Gerakan Pembaharuan.
Hidup dalam masyarakat bangsa majemuk, senantiasa menuntut tumbuhnya kepekaan rasa dan tindakan nyata. Mengapa demikian? Dengan perspektif manusia sebagai makhluk sosial, Allah Swt menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi ini, maka tidak berlebihan jika kemudian perlu menyadarkan pentingnya mengaktualisasi fundamental ideologi bangsa ini pada jalur yang semestinya.
Kader Muhammadiyah harus memahami lebih dalam, mengapa KH. Ahmad Dahlan memiliki sebuah cita-cita mulia untuk mengantarkan bangsa Indonesia menjadi Baldatun Toyyibatun Warrabun Ghofur.
Muhammadiyah Mergo Ati
Muhammadiyah Mergo Ati bisa bermakna sebagai penyadaran jati diri terhadap seorang kader tentang bagaimana berproses menjadi Muhammadiyah. Setiap kader harus berpemahaman bahwa Allah Swt menciptakan hati seseorang dalam kondisi suci. Sehingga proses menjadi kader Muhammadiyah harus menjadi langkah suci untuk meraih ridha Allah SWT. Kesadaran perjalanan waktu harus menjadikan kader Muhammadiyah memahami bahwa sesungguh masyarakat bangs aini masih tertinggal jauh dari negara-negara lainnya.
Dalam buku Memahami Ideologi Muhammadiyah karya Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi, menerangkan bahwa Ideologi Muhammadiyah yang reformis-modernis (pembaruan) lebih menampilkan corak Islam yang berkemajuan, yang didalamnya terdapat sebuah pemurnian (purifikasi). Pemurnian yang di maksud tersebut juga tertuang dalam tujuan Muhammadiyah yakni “Mewujudkan Masyarakat Islam yang Sebenar-Benarnya”. Yaitu masyarakat yang kembali kepada sumber utama yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ojo Nyerimpeti
Dalam bahasa Jawa, kata “nyerimpeti” berarti menghambat atau mengganjal. Maksud dari kata itu adalah ketika terdapat seseorang yang dapat menghambat dan mengganggu kehidupan seseorang, pekerjaan, dan pelbagai hal yang sesungguhnya tidak ada kewenangan untuk mencampuri urusan tersebut.
Dewasa ini para kader Muhammadiyah kiranya harus mengerti tentang batasan dan kewenangan untuk tidak mengganggu jalannya roda organisasi diberbagai tingkatan. Sering dijumpai beberapa ‘oknum’ tidak mengindahkan etika dalam organisasi demi tercapainya tujuan tertentu.
Ada pertanyaan yang sering muncul pada setiap kader Muhammadiyah. Mengapa diantara anggota, kader dan elite pimpinan tidak memahami apa itu ideologi Muhammadiyah? Apakah mungkin masih banyak yang gagal paham tentang ideologi Muhammadiyah? Atau apakah di antara kita masih banyak yang salah dalam mengajarkan ideologi Muhammadiyah?
Menurut penulis, fenomena tersebut bisa jadi karena proses sosialisasi ideologi Muhammadiyah belum sepenuhnya dilaksanakan, dituntunkan, dan disebarluaskan. Materi tentang ideologi Muhammadiyah juga mungkin atau tidak tersedia dengan memadai dan disebarluaskan dengan terprogram.
Boleh jadi ada faktor lain, yaitu karena yang bersangkutan tidak mau mempelajari seluk beluk Muhammadiyah sehingga sekedar menjalankan apa adanya. Mungkin juga karena sudah terpatok dengan pemahaman sendiri, sehingga tidak tergerak untuk memahami ideologi Muhammadiyah yang sebenarnya.
Apapun alasannya, kondisi setiap internal pimpinan Persyarikatan maupun Organisasi Otonom Muhammadiyah, yang menunjukan kurangnya tertanam ideologi Muhammadiyah harus segera ada solusinya. Karena Muhammadiyah sebagai organisasi besar yang memiliki sistem yang diatur didalam Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga menjadi pondasinya.
Refleksi diri bagi seluruh pimpinan dan anggota Muhammadiyah pada berbagai tingkatan agar tetap pada Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah harus diperkuat dan disebarluaskan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari kita dalam hidup bermasyarakat.
Editor Notonegoro