
Oleh Silviyana Anggraeni – Pegiat Literasi
PWMU.CO – Konon sejarah itu ditulis oleh sang pemenang. Ungkapan tersebut benar adanya. Jika kita mencermati berbagai buku Sejarah Indonesia yang kita baca saat SD, ternyata lambat laun seiring perkembangan teknologi digital, kini banyak informasi tentang Sejarah Indonesia yang paradoks dengan yang sudah tertuliskan selama ini. Sebagai contoh sejarah Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S-PKI).
Dalam buku sejarah yang ditulis pada era Orde Baru, PKI merupakan kelompok orang yang dengan label sebagai pengkhianat Pancasila yang sengaja untuk melawan negara. Bahkan nama Presiden pertama RI, Ir Soekarno dan Presiden kedua RI, Jenderal Besar Soeharto turut terkena imbas dari sepak terjang PKI.
Soekarno dituding terlibat bahkan sebagai otak dari pemberontakan PKI tersebut. Ada pun Soeharto yang saat itu sebagai seorang perwira tinggi ABRI, ada yang menudingnya sengaja memanfaatkan momentum pemberontakan PKI tersebut untuk menggulingkan Soekarno dari kursi kepresidenan dan kemudian menggantikannya.
Kini, di tengah derasnya arus informasi melalui media digital, tidak hanya pihak yg mendukung Soekarno dan Soeharto yang memberikan klarifikasi dan kesaksian, tetapi juga dari beberapa eks anggota atau pendukung PKI. Termasuk banyak pula anak-anak anggota PKI yang menjadi bagian dari ormas, partai politik maupun menjadi pejabat publik. Mereka (konon) diam-diam hadir dengan neo-komunisnya. Mereka juga intensif memberikan pembelaan terhadap pihak-pihak yang dulu terlibat langsung dalam aksi PKI. Mereka tampak sengaja untuk menghapus rekam sejarah kelam tersebut. Padahal menghapus sejarah, berarti menghapus pembelajaran bagi generasi selanjutnya.
Dengan fakta itu, sebenarnya siapapun kini bisa menulis sejarah. Siapapun bisa bebas mempublikasikan semua yang mereka ‘anggap’ benar. Masyarakat pun berhak untuk memilih kebenaran versi siapa. Pada satu sisi ini menjadi baik untuk memperkaya perspektif masyarakat. Namun pada sisi lain cukup berbahaya karena kebebasan yang tak terbatas dapat mengacaukan pola pikir, mengikis akal sehat, menumpulkan pemikiran kritis masyarakat dan ujungnya menghancurkan sendi-sendi negara itu sendiri.
Kebebasan berpendapat yang telah diatur dalam undang-undang nampaknya tidak sekedar bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya, tetapi juga dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mempengaruhi atau menggiring opini publik, baik melalui media berlisensi maupun melalui buzzer di media sosial.
Medsos sebagai pilihan
Meski demikian penggiringan opini publik melalui media sosial (medsos) menjadi yang paling dominan. Alasannya, karena masyarakat kini lebih tertarik pada postingan-postingan yang berbau asumsi saja. Berdasar data reportal tahun 2023, terdapat 167 juta pengguna medsos, 153 juta merupakan pengguna dengan usia 18 tahun ke atas atau sekitar 79,5 persen dari total populasi di indonesia.
Upaya penggiringan opini melalui medsos untuk memperkuat posisi dan kekuasaan pada masing-masing pihak. Hal ini bisa kita lihat di sosmed populer seperti Facebook, Instagram, X dan Tiktok, perang pemikiran dan keberpihakan begitu kentara. Baik keberpihakan pada pilihan politik, kebijakan publik, tokoh atau publik figur.
Dalam politik, misalnya, kampanye politik di medsos memiliki dua sisi, yaitu sisi produktif dan sisi kontra produktif. Pada sisi produktif, kampanye politik melalui medsos secara efesien memperluas jangkauan pesan, ide dan gagasan kandidat kepada pemilih. Sedang sisi kontraproduktifnya, ketika kampanyenya dilakukan dengan cara taktik agresif dan saling menyerang, bahkan tidak segan merusak citra dari kandidat lawan. Medsos telah mengubah bagaimana model kampanye, mempengaruhi persepsi publik, dan bahkan mempengaruhi pilihan politik. Tidak heran jika para kandidat politik terkesan brutal dalam menaruh buzzer-buzzernya di medsos meski dengan ongkos yang tidak murah.
Untuk menyeimbangkan efek kontraproduktif dari kampanye medsos tersebut, membutuhkan pendidikan politik yang memadai. Sebenarnya partai politik yang paling bertanggung jawab dalam pendidikan politik.
Setidaknya ada empat efek dari tidak berjalannya pendidikan politik secara baik kepada masyarakat: pertama, ketidakmampuan menganalisis informasi politik yang didapat dari medsos. Kedua, tergesa-gesa dalam merespon isu politik tanpa melakukan cek and balance. Ketiga, rentan melakukan berbagai tindakan kontraproduktif/agresif untuk mendapatkan dukungan dan keberpihakan masyarakat melalui medsos. Dan keempat, terciptanya konflik dan perpecahan antar warga negara, baik pada dunia maya maupun dunia nyata.
Dampak paling besar dari era medsos adalah fitnah. Fitnah yang tidak secara langsung tercipta atau bahkan dengan sengaja diciptakan. Sebagian ulama menggambarkan fitnah medsos sebagai fitnahnya Dajjal. Karena itu alangkah baiknya jika para pengguna medsos selalu memohon perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari fitnah Dajjal. Doa Rasulullah yang selalu kita baca pada akhir sholat sebelum salam, yang berbunyi “Allahumma inni audzubika min ‘adzabi jahannama wa min adzabil qabri wa min fitnatil mahya wal mamati, wa min syarri fitnatil masihid dajjal” (Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari azab Jahannam, azab kubur, fitnah hidup dan mati, dan dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal). (HR Muslim).
Editor Notonegoro