
Oleh Hendrik Furqon (Ketua Pemuda Muhammadiyah Gempolpading)
PWMU.CO – Ibadah puasa Ramadhan, dalam ajaran Islam memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Puasa Ramadhan ini tidak sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan diri dari segala bentuk perbuatan yang dapat merusak keikhlasan. Dan keistimewaan dari ibadah puasa ini yang bersifat rahasia dan personal, artinya hanya Allah dan individu yang berpuasa sendiri yang benar-benar mengetahui.
Mengasah pengetahuan dan kesadaran bahwa puasa merupakan ibadah yang bersifat privat cukup relevan saat ini, ketika ketika fenomena publikasi amal ibadah kian marak. Utamanya yang dipublikasikan melalui jejaring digital.
Ibadah Rahasia
Dalam hadis Qudsi, Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda, “Setiap amal anak Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan balasannya” (HR Bukhari dan Muslim). Hadits ini menegaskan bahwa puasa memiliki posisi khusus di sisi Allah, berbeda dengan ibadah lain yang lebih tampak secara fisik.
Puasa bersifat rahasia karena tidak memberikan tanda yang bisa dilihat dengan panca Indera secara nyata dan orang lain bisa menilainya secara kasat mata. Hal ini mengajarkan makna keikhlasan yang sejati, di mana seseorang hanya berpuasa karena Allah semata, tanpa mengharapkan pengakuan atau pujian dari orang lain.
Konsep privasi dalam ibadah menekankan bahwa hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah hubungan personal yang tidak memerlukan publikasi. Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 183 menyebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa“. Ayat ini menunjukkan tujuan puasa adalah ketakwaan, bukan pengakuan sosial.
Era media sosial saat ini, ada kecenderungan sebagian orang untuk mempublikasikan aktivitas ibadahnya, termasuk puasa. Bukan tidak mungkin, dengan kebiasaan publikasi tersebut maka niat ibadah yang murni bisa terkontaminasi oleh dorongan untuk memperoleh pengakuan atau apresiasi publik. Tapi bukankah dalam Islam, riya’ (pamer ibadah) adalah salah satu penyakit hati yang dapat merusak amal ibadah.
Fenomena pamer ibadah
Pada era medsos, publikasi saat sedang dan atau telah menjalankan ibadah seolah sudah menjadi tradisi dan tidak terbatas pada ibadah puasa saja. Beberapa contoh yang sering kita temui di berbagai bidang, antara lain:
a. Bidang sosial: orang membagikan foto atau video saat memberikan sedekah atau membantu orang lain, terkadang lebih menonjolkan diri daripada niat tulus membantu.
b. Bidang pendidikan: siswa atau mahasiswa yang memamerkan kegiatan belajar Al-Qur’an atau kajian agama, bukan untuk menginspirasi, melainkan agar lebih terlihat religius.
c. Bidang profesional: karyawan atau pemimpin yang menonjolkan kegiatan ibadah mereka di kantor demi membangun citra positif di lingkungan kerja.
d. Kehidupan sehari-hari: dokumentasi kegiatan dan menu sahur, buka puasa, atau ibadah tarawih di media sosial yang lebih berfokus pada estetika dan pujian daripada esensi spiritual.
Kebutuhan validasi sosial?
Menurut kajian psikologi, fenomena ini berakar pada kebutuhan manusia akan validasi sosial. Menurut teori Self-Determination Theory (Deci & Ryan, 2000), manusia secara alami memiliki kebutuhan akan kompetensi, keterhubungan, dan otonomi. Ketika kebutuhan keterhubungan tidak terpenuhi secara internal, individu cenderung mencari pengakuan eksternal.
Fenomena memamerkan ibadah sering kali karena dorongan kebutuhan validasi tersebut. Social Comparison Theory (Festinger, 1954) juga menjelaskan bahwa manusia cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain dalam menilai diri. Dalam konteks ibadah, membagikan aktivitas spiritual di ruang publik bisa menjadi cara memperoleh pengakuan dan status sosial, meskipun tanpa sadar hal ini bisa menggeser keikhlasan.
Selain itu, Fear of Missing Out (FoMO) — ketakutan tertinggal tren atau eksistensi — juga memperparah dorongan ini. Banyak individu merasa perlu menunjukkan ibadah mereka agar tidak tertinggal atau merasa lebih baik daripada orang lain. Meskipun niat awalnya adalah ibadah yang tulus.
Dampak publikasi ibadah
Publikasi ibadah, termasuk puasa, bisa berisiko menurunkan nilai spiritualitas ibadah itu sendiri. Beberapa dampak negatif dari publikasi ibadah meliputi:
a. Riya’ dan ujub (bangga Diri), ketika melakukan ibadah untuk pamer atau mendapat pujian, keikhlasan akan pudar.
b. Tekanan sosial, yaitu ketika seseorang mungkin merasa tertekan untuk melakukan hal serupa demi diakui, bukan karena dorongan iman.
c. Mengurangi ketulusan, karena esensi ibadah sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah tergeser oleh keinginan mendapatkan pengakuan manusia.
Puasa adalah bentuk ibadah yang menanamkan makna ketulusan dan privasi spiritual yang mendalam. Pada era digital dan medsos yang serba terbuka, umat Muslim harus bisa menjaga keikhlasan ibadah dan menahan diri dari publikasi yang berpotensi merusak nilai ibadah. (*)
Editor Notonegoro