Bagi para orang tua, mari awasi dan dampingilah penggunaan media sosial anak-anak kita. Jangan biarkan anak larut di dunia maya tanpa bimbingan. Jadilah teladan dengan juga membatasi waktu kita di gawai saat bersama keluarga. Ajak anak untuk melakukan kegiatan offline yang menyenangkan: olahraga, bermain di luar, hobi kreatif, dan tentu saja ibadah berjamaah. Seperti saran pakar, dukungan sosial nyata dari keluarga dan teman dapat mengurangi dampak negatif media sosial. Artinya, jika anak mendapat kenyamanan berkomunikasi dan curhat di dunia nyata, ia tak akan lari mencari pelarian sepenuhnya ke dunia maya.
Momentum Idul Fitri ini sangat baik untuk detoks digital sejenak. Saat berkumpul keluarga, kita taruh HP, kita fokus bercengkerama, menyambung rasa. Toh, semua “dunia maya” bisa menunggu sehari; yang di depan mata inilah yang lebih berharga. Manfaatkan momen ini untuk menguatkan kembali hubungan nyata. Setelah itu, kita bisa membuat resolusi pasca Ramadhan: mengontrol penggunaan medsos agar lebih proporsional. InsyaAllah, jiwa kita akan lebih tenang dan waktu kita lebih berkah.
Menjaga Kesehatan Mental Pasca Ramadan
Jamaah yang berbahagia, setelah memahami berbagai tantangan kesehatan mental dari sisi ekonomi, sosial, pendidikan, dan pengaruh media, kini pertanyaannya: apa yang bisa kita lakukan?
Idul Fitri menandai kemenangan kita melawan hawa nafsu selama sebulan. Kemenangan ini perlu kita teruskan dengan menjaga apa yang sudah kita latih di bulan Ramadan untuk kesehatan mental kita sepanjang tahun. Berikut beberapa langkah yang bisa kita upayakan bersama:
- Perkuat Spiritualitas dan Ibadah – Ramadan melatih kita dekat dengan Allah. Lanjutkan kebiasaan baik seperti shalat tepat waktu, tilawah Quran, zikir pagi petang. Spiritualitas yang kuat terbukti memberikan ketangguhan mental. Jiwa yang selalu ingat Allah akan lebih tenang menghadapi masalah (QS. Ar-Ra’d [13]: 28). Ketika stres melanda, ambil wudhu dan shalatlah dua rakaat memohon petunjuk. Inilah coping mechanism terbaik bagi muslim.
- Bina Hubungan Sosial yang Positif – Teruskan silaturahim tidak hanya di hari raya. Luangkan waktu rutin bertemu keluarga atau teman. Jadilah pendengar yang baik bagi kerabat yang curhat masalahnya. Dukungan sosial adalah obat mujarab untuk depresi. Jangan ragu juga untuk meminta bantuan atau sekadar bercerita kepada orang yang Anda percayai ketika beban terasa berat. Kita tidak ditakdirkan memanggul beban sendirian; ada Allah dan ada saudara seiman yang siap menopang.
- Jaga Pola Hidup Sehat – Kesehatan fisik dan mental saling berkaitan. Tetaplah jaga pola makan seimbang meski lebaran penuh hidangan lezat; jangan berlebihan. Lanjutkan kebiasaan olahraga ringan yang mungkin sudah mulai saat puasa. Olahraga terbukti melepas hormon endorfin yang meningkatkan mood. Istirahat yang cukup, jangan balik lagi ke pola bergadang tak tentu. Tubuh lelah rentan membuat pikiran negatif.
- Bijak dalam Pendidikan dan Karier – Untuk para pelajar, hadapi tahun ajaran atau semester baru dengan semangat seimbang. Kejar prestasi, tapi ingat atur waktu rekreasi. Untuk para orang tua dan pendidik, ciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan suportif. Hargai setiap usaha anak, bukan semata hasil. Tekankan pada mereka bahwa kegagalan bukan akhir dunia, tapi bagian dari proses belajar. Dengan mindset demikian, anak akan tumbuh tangguh dan tidak mudah stres menghadapi tantangan.
- Atur Konsumsi Media dan Informasi – Pasca Ramadan, mari tetap filter tontonan dan bacaan kita. Hindari kembali larut dalam hiburan yang tidak bermutu apalagi merusak jiwa. Sesuaikan lagi penggunaan gadget: kurangi scrolling tak perlu, perbanyak interaksi di dunia nyata. Jika memungkinkan, tetapkan “puasa media sosial” berkala, misal sehari dalam seminggu tanpa medsos, untuk menyegarkan mental kita.
- Kenali Batas dan Cari Bantuan Profesional bila Perlu – Islam mengajarkan “laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha” – Allah tidak membebani di luar kesanggupan (QS 2:286).
Jika merasa beban hidup atau emosi Anda sudah tak tertanggungkan, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Berkonsultasilah dengan psikolog atau psikiater. Ini tidak menunjukkan lemah iman; justru ikhtiar ini bagian dari tawakal dan usaha. Alhamdulillah, pemerintah melalui Kemenkes telah menyediakan layanan konseling online maupun di Puskesmas untuk kesehatan jiwa.
Data Riskesdas 2018 menyebut di Indonesia terdapat lebih dari 19 juta orang usia >15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan 12 juta di antaranya depresi. Jadi Anda tidak sendirian – banyak orang bergelut dengan ini dan profesi kesehatan siap membantu. Dalam suatu riwayat, Rasulullah SAW pernah didatangi seorang sahabat yang mengeluhkan sakit (baik fisik maupun mental), Nabi menyarankan untuk berobat seraya tetap bertawakal. Berobat adalah sunnah, maka tak perlu malu untuk terapi.
Hadirin yang dimuliakan Allah SWT, kesehatan mental adalah karunia dan amanah yang harus kita jaga sebagaimana kesehatan fisik. Idul Fitri ini hendaknya menjadi titik tolak kita memperhatikan aspek-aspek tadi dalam diri dan keluarga kita. Jangan biarkan ekonomi sulit memadamkan cahaya harapan kita. Jangan biarkan kesibukan dan teknologi memisahkan kita dari keluarga dan ketenangan jiwa. Mari rangkul nilai-nilai Ramadan: sabar, syukur, empati, dan disiplin, untuk memperkuat kesehatan mental kita.