
PWMU.CO – Seorang siswa kelas 9C SMP Muhammadiyah 1 (SMP Muhi) Genteng, Banyuwangi, Reyhan Iftitan Ramadhanu, bertandang ke kediaman maestro penari Gandrung dan tokoh legendaris Gandrung Banyuwangi, Emak Temu, pada Kamis (10/4/2025). Kunjungan ini dilakukan dalam rangka silaturahmi Idul Fitri. Saat ini, Emak Temu menetap di Kampung Budaya Osing, Dusun Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.
Pertemuan pertama Reyhan dengan Emak Temu terjadi saat keduanya diundang untuk mengisi acara Jagong Budaya bersama budayawan Sujiwo Tejo pada Minggu (15/12/2024) lalu. Acara tersebut diselenggarakan oleh Ketua Sanggar Budaya Langgar Art di Dusun Temurejo, Desa Kembiritan, Genteng, Banyuwangi.
Dalam acara itu, Reyhan, sebagai seniman cilik, diundang untuk mengisi pra-acara dengan membawakan cerita legenda Alas Purwo. Ia menampilkan monolog, memainkan gendang Jawa, serta membawakan tari kreasi yang relevan dengan isi cerita. Sementara itu, Emak Temu diundang secara khusus oleh Sujiwo Tejo sebagai tokoh legendaris untuk mendampinginya dalam sesi Gesah Budaya.
Sebagai sesama pecinta seni dan budaya, Reyhan dan Emak Temu langsung merasa cocok saat bertemu. Keduanya pun cepat akrab dan saling bertukar nomor handphone untuk bisa tetap berkomunikasi.
Inspirasi dari Sang Maestro
Kehadiran Reyhan bersama ibunya ke rumah Emak Temu tidak hanya untuk bersilaturahmi dalam momen Syawalan, tetapi juga untuk menggali inspirasi dari perjalanan sukses Emak Temu sebagai maestro penari Gandrung. Namanya kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari seni dan budaya Banyuwangi.
Reyhan ingin belajar banyak hal dari sang maestro yang telah melanglang buana ke berbagai penjuru Nusantara.
“Saya juga pernah diundang ke Taman Ismail Marzuki dalam acara misi kebudayaan, dan sekitar tahun 2015 tampil di Frankfurt, Jerman, dalam acara Book Fair,” ungkap Emak Temu sambil menunjukkan salah satu sertifikat yang menempel di dinding.
Emak Temu kemudian menceritakan awal perjalanannya sebagai penari Gandrung yang dimulai pada usia 15 tahun. Di Banyuwangi, masyarakat mengenalnya dengan nama Temu Misti. Namun, menurutnya, nama Misti adalah pemberian orang tuanya.
Saat masih kecil, Misti sering sakit-sakitan. Oleh karena itu, ia diasuh oleh bibinya, Atidjah, dan suaminya, Buang, yang saat itu tidak memiliki keturunan. Dalam upaya mencari kesembuhan, Misti dibawa ke seorang dukun pijat bernama Mbah Ti’ah. Setelah sembuh, namanya diubah menjadi Temu.
Ketika usianya menginjak 15 tahun, Temu bertemu kembali dengan Mbah Ti’ah, yang ternyata juga seorang juragan Gandrung. Pertemuan inilah yang menjadi awal perjalanan Temu atau Misti menjadi penari Gandrung legendaris hingga saat ini.
Reyhan mendapatkan banyak pelajaran berharga dari kisah perjuangan Emak Temu. Ia menyaksikan bagaimana Emak Temu berjuang mengangkat derajat penari Gandrung, yang dahulu sering dipandang negatif, hingga akhirnya menjadi ikon budaya Banyuwangi. Berkat perjuangan panjang tersebut, seni Gandrung kini telah masuk dalam kurikulum sekolah dan dikenal di kancah internasional.

Di usianya yang ke-73 tahun, Emak Temu tetap eksis di dunia tari Gandrung dengan mendirikan Sanggar Sopo Ngiro, yang menjadi wadah bagi generasi muda untuk melestarikan seni tradisi Banyuwangi. (*)
Penulis Abdul Muntholib Editor Ni’matul Faizah