
Oleh Ahmad Fikri
PWMU.CO – Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi seharusnya membuat manusia semakin peka dalam membaca situasi dan realitas kekinian. Kekacauan dan dekadensi moral terjadi di mana-mana. Selain itu, konflik dan permusuhan kian merajalela. Tuntunan justru menjadi tontonan, sedangkan tontonan malah dijadikan tuntunan. Banyak penghafal Al Quran, namun sedikit yang benar-benar mengamalkannya dalam kehidupan.
Hari ini, umat Islam tertinggal jauh dari peradaban Barat dalam berbagai aspek. Al Quran yang seharusnya menjadi inspirasi bagi kemajuan ilmu pengetahuan justru seringkali hanya dijadikan sebagai bacaan, dengan orientasi menghitung pahala dari tiap huruf yang dibaca. Bahkan, memuliakan al Quran hanya sebatas menaruhnya di tempat tinggi dan sulit dijangkau. Akibatnya, al Quran jarang dibuka kecuali saat kegiatan musiman, seperti tadarus tahunan di bulan Ramadhan.
Padahal, umat Islam telah melupakan fungsi utama al Quran sebagai Kitab al-Hayat (kitab kehidupan), Qanun al-Asasy fi al-Hayat (undang-undang dasar kehidupan), serta sebagai hudan (petunjuk) dalam seluruh aspek kehidupan. Bukan sekadar bacaan yang dihafalkan atau disimpan rapi, melainkan untuk dipahami dan diamalkan dalam tindakan nyata.
Merespons realitas tersebut, salah satu mufasir Indonesia, Quraish Shihab, mencoba mempopulerkan istilah “Membumikan Al Quran” melalui karya-karya monumentalnya. Deklarasi istilah tersebut patut diapresiasi, khususnya oleh para pengkaji al Quran. Ia menyuguhkan cara pandang yang berbeda terhadap kitab suci. Dalam bukunya, ia mengajak para pemerhati tafsir al Quran untuk menjadikan al Quran sebagai referensi hidup yang kontekstual dan membumi di tengah masyarakat yang beragam.
Dengan demikian, konsekuensi dari membaca al Quran adalah menjadikannya sebagai kitab kehidupan yang kehadirannya dapat dirasakan oleh seluruh umat Islam, terutama masyarakat Indonesia. Upaya membumikan al Quran bukanlah pekerjaan mudah, perlu Kerja sama dari semua pihak, baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat secara umum. Perlu adanya pendekatan-pendekatan baru dalam kajian al Quran. Sehingga penafsiran al Quran mampu dihadirkan di tengah-tengah masyarakat sebagai solusi terbaik atas problematika yang ada.
Dakwah Al Quran
Salah satunya, dakwah al Quran harus memberikan sentuhan khusus terhadap siapa saja yang mendengarkannya. Nasihat-nasihat al Quran harus mampu menggerakkan hati seseorang menuju ke arah yang lebih baik, bukan justru menjauhkan mereka dari prinsip-prinsip ajaran al Quran yang sebenarnya. Sehingga muncul pertanyaan, bagaimana cara yang tepat dalam menjadikan al Quran sebagai ruh dari gerakan dakwah Islam di Indonesia?
Maka KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah telah menjawab persoalan tersebut, dengan memberikan praktik nyata membumikan al Quran ditengah-tengah masyarakat. Upaya ini sejatinya telah dirintis oleh beliau sejak masa-masa awal dalam mendirikan Muhammadiyah, dengan menjadikan al Quran sebagai inspirasi dakwah amar makruf nahi munkar.
Dalam sejarahnya, KH Ahmad Dahlan mempelopori gerakan dakwah berbasis pengamalan Al Quran. Salah satu kisah yang terkenal adalah saat beliau mengajarkan surat Al-Ma’un kepada murid-muridnya. Surat itu diulang-ulang hingga salah satu muridnya bertanya, “Mengapa guru terus mengulangi pelajaran pada surat Al-Ma’un, padahal sejak kemarin kami sudah mempelajarinya?”, KH Ahmad Dahlan menjawab bahwa pelajaran tidak akan dilanjutkan sampai mereka benar-benar mengamalkan isi kandungan surat Al-Ma’un.
Dari cerminan kisah tersebut, KH Ahmad Dahlan kemudian mendirikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan. Ia mendorong setiap Muslim agar berani mengaktualisasikan amar makruf nahi munkar guna menciptakan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Seiring berjalannya waktu, Muhammadiyah memberi panduan dakwah yang lebih rinci melalui Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), hasil keputusan Muktamar ke-44.
Dalam PHIWM disebutkan, “Dakwah Islam sebagai wujud seruan dan ajakan kepada umat manusia ke jalan Allah pada dasarnya dimulai dari diri sendiri (ibda’ binafsik), sebelum berdakwah kepada pihak lain. Sesuai seruan Allah: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka…” Maka, dakwah dilakukan dengan cara menyeru kepada kebaikan (amru bil ma’ruf), mencegah kemungkaran (nahyu ‘anil munkar), dan mengajak untuk beriman kepada Allah (tu’minuna billah) guna membentuk khairu ummah (umat terbaik).
Berdasarkan keyakinan, pemahaman, dan penghayatan Islam yang mendalam, seluruh warga Muhammadiyah diwajibkan untuk mengamalkan Islam secara utuh dalam kehidupan. Praktik hidup Islami harus diterapkan dalam lingkungan terdekat sebelum menyebarkannya ke luar. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan warganya sebagai individu Muslim dituntut untuk menjadi teladan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka, secara kelembagaan maupun perorangan, Muhammadiyah harus tampil sebagai pelaku dakwah yang menjadi rahmatan lil ‘alamin.”
Kutipan dua paragraf PHIWM di atas menegaskan pentingnya fokus dakwah amar makruf nahi munkar yang dijalankan Muhammadiyah. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah menjadi bukti konkret bahwa dakwah bukan sekadar seruan verbal, tetapi harus diwujudkan dalam sikap, amal, dan teladan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan kewajiban bagi seluruh warga Muhammadiyah secara khusus, dan umat Islam secara umum.
Maka marilah bersama-sama kita tempatkan al Quran sebagaimana mestinya. Allah telah menurunkan al Quran dari langit ke bumi, maka bumikanlah al Quran dan jangan biarkan kembali melangit, dalam arti Jangan jadikan keistimewaan al Quran hanya sebatas pada huruf dan nada bacaannya saja, tetapi bagaimana kita mengimplementasikanya dalam realitas kehidupan seperti yang telah dicontohkan oleh para pendahulu kita, dan secara khusus yang telah dirincikan dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.
Editor Amanat Solikah