
PWMU.CO – Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Gubeng menggelar Syawalan Keluarga Besar Muhammadiyah Cabang Gubeng, Kota Surabaya, dengan tema “Merekat Ukhuwah, Bersinergi dalam Dakwah”. Acara ini diselenggarakan di Masjid Jenderal Sudirman, Jalan Dharmawangsa 2 Surabaya, Ahad (13/4/2025).
Syawalan menghadirkan narasumber Prof Dr Khozin MSi, Ketua Majelis Dikdasmen dan PNF PWM Jawa Timur. Jamaah disuguhi aneka sarapan seperti sate, bakso, dan lodeh.
Ketua PCM Gubeng, Drs Sulaiman MA, menjelaskan bahwa Syawalan digelar sebagai ajang silaturrahim dan halal bihalal bagi seluruh ortom, takmir masjid, kepala sekolah, unsur muspika, serta saudara-saudara seiman dari NU, MUI, LDII, Polsek, Koramil, dan Camat Gubeng.
“Cabang Gubeng sudah banyak berkiprah, dengan berbagai tantangan dan hambatan. Tantangan dakwah di Gubeng cukup berat karena wilayah ini termasuk kawasan timur Surabaya. Maka diperlukan SDM yang tangguh,” ujarnya.
Sulaiman menambahkan, PCM Gubeng telah memperkuat dakwah di berbagai sektor, khususnya pendidikan dan kesehatan. “Kami dekat dengan RSUD Dr Soetomo, sehingga juga dekat dengan para pasien dan keluarganya,” imbuhnya.
Ke depan, PCM Gubeng akan merapatkan barisan. Banyak kader yang memiliki amanah ganda, sehingga perlu penguatan ideologi untuk seluruh ortom dan ranting, baik Muhammadiyah maupun Aisyiyah.
“Kita berharap Keluarga Muhammadiyah Gubeng semakin solid mengembangkan dakwah yang berkemajuan. Tema kita adalah merekat ukhuwah islamiyah, bashariyah, dan wathaniyah,” tandasnya.
Sebagai penutup, Sulaiman memimpin yel-yel penuh semangat: “Ranting itu penting! Cabang harus berkembang! Masjid makmur, memakmurkan! Muhammadiyah sukses dunia, sukses akhirat! Allahu Akbar!”
Sambutan juga disampaikan Kyai Muslimin dari Majelis Wakil Cabang NU Gubeng. Ia menyoroti persamaan sanad keilmuan antara Muhammadiyah dan NU, yakni dari Kyai Sholeh Darat dan Syekh Khatib Al-Minangkabawi.
“Muhammadiyah adalah ormas Islam dengan aset terbanyak di dunia. NU memiliki jumlah umat Islam terbanyak di dunia. Keduanya adalah tameng eksistensi Islam di Indonesia,” tuturnya.
Ia juga menyampaikan bahwa dahulu NU dan Muhammadiyah sempat bersilang pendapat soal qunut, namun sekarang tak lagi dipermasalahkan. “Sebab, sama-sama shalat Subuhnya telat,” candanya, disambut tawa jamaah.
Dalam kajian utamanya, Prof Khozin menyampaikan bahwa tiga ucapan populer saat Idul Fitri seperti “Taqabbalallahu minna wa minkum”, “Minal aidzin wal faidzin”, dan “Kullu ‘am wa antum bikhair” tidak memiliki sanad sampai Rasulullah. Ucapan tersebut lebih bersifat tradisi dan kebiasaan di kalangan sahabat.
Ia juga mengulas Tuntunan Idul Fitri dari Majelis Tarjih, seperti mandi besar sebelum berangkat ke tempat shalat Id, memakai pakaian terbaik, sarapan terlebih dahulu, dan memilih lapangan terdekat agar bisa ditempuh dengan berjalan kaki. “Khutbah Idul Fitri boleh agak siang, tapi Idul Adha sebaiknya lebih pagi,” ujar Prof Khozin sambil berseloroh.
Prof Khozin juga menyampaikan hubungan guru-murid antara para ulama besar: Kyai Sholeh Darat adalah guru dari KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. Panggilan mereka pun akrab: KH Ahmad Dahlan memanggil KH Hasyim Asy’ari dengan “Kang Mas” dan sebaliknya dengan “Ki Mas”.
Dalam konteks ukhuwah, Prof Khozin menjelaskan bahwa persaudaraan sejati adalah yang didasari oleh iman, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Hujurat ayat 10. Di luar negeri, ketika menjadi minoritas, umat Islam merasa dekat satu sama lain hanya karena seiman.
Ia juga mengingatkan tentang doa Nabi Muhammad SAW yang dikabulkan dan yang tidak. Dua dikabulkan: agar umatnya tidak mati kelaparan dan tidak ditenggelamkan seperti umat Nabi Luth. Namun satu permintaan ditolak, yaitu agar umat Islam tidak saling bermusuhan.
“Kalau masih membangun, biasanya kompak. Tapi kalau sudah jadi, justru banyak godaan dan konflik. Ini terjadi di sekolah, masjid, bahkan partai politik seperti Masyumi di masa lalu,” jelasnya.
Dalam Risalah Islam Berkemajuan, salah satu penopangnya adalah menumbuhkan sikap moderat antarumat. “Perbedaan dipahami dengan dewasa. Yang satu tarawih 23 rakaat, yang lain 11. Tak perlu dipertentangkan,” katanya.
Ia mencontohkan saat KH AR Fakhruddin menjadi imam tarawih di Pesantren Tebuireng. Saat 10 rakaat, beliau bertanya apakah langsung witir atau lanjut 13 rakaat. Jamaah menjawab, “Sampun, langsung witir.” Gus Dur yang hadir saat itu berkata, “Baru kali ini ada orang Muhammadiyah memuhammadiyahkan NU di kandang NU.”
Ukhuwah, kata Prof Khozin, harus didasari takwa. Puasa Ramadhan bertujuan agar bertakwa, sebagaimana QS al-Baqarah ayat 183. Takwa mencakup kedermawanan, mengelola amarah, memaafkan orang lain, dan segera bertaubat.
“Orang bertakwa itu sistem imunologinya kuat secara spiritual. Tidak mudah sakit. Ini menurut Prof Fajrul Rahman, guru Prof Syafi’i Ma’arif dan Prof Amien Rais di Amerika,” pungkasnya. (*)
Penulis Syahroni Nur Wachid Editor Wildan Nanda Rahmatullah