
PWMU.CO – Muhammadiyah terkenal sebagai organisasi keagamaan yang pengelolaan kepemimpinannya bersifat kolektif kolegial. Arti kolektif kolegial adalah antar pimpinan memiliki amanah yang sama. Termasuk dalam memutuskan masalah persyarikatan, termasuk dalam hal ini Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Kesadaran kepemimpinan kolektif kolegial merupakan ruh para pengurus Muhammadiyah. Karena itu, setiap keputusan terkait roda persyarikatan maupun AUM merupakan buah dari hasil musyawarah. Kesadaran kolektif kolegial ini berlandaskan Al-Qur’an Surat Ali Imron 103-104, Al-Maidah 2 dan Al-Hujurat 10.
Dalam Muhammadiyah menjadi sangat tidak lazim jika pribadi seorang pengurus membuat “keputusan” sepihak, tanpa melalui musyawarah atau mendapatkan persetujuan bersama dari sesama unsur pimpinan. Termasuk juga dalam pengelolaan AUM, tidak ada keputusan atau kebijakan yang di buat oleh personal pengurus atau pejabat yang membidangi, tanpa melalui musyawarah atau di ketahui/disepakati oleh seluruh unsur pengurus yang berwenang. Karena itu, menurut Prof Dr Din Syamsuddim MA, Kepemimpinan di Muhammadiyah tidak sekadar sebagai leader, tetapi juga sebagai manajer dalam organisasi yang bertujuan untuk memajukan berbagai lini dakwah.
Namun, di lapangan masih ada saja hal yang bertolak belakang. Terkadang kita temukan pengurus atau pejabat struktural bertindak layaknya ‘raja kecil’. Mereka menjalankan amanah persyarikatan seolah tanpa bisa tersentuh kritik dan koreksi. Alih-alih membangun sistem yang transparan, demokratis, dan berkemajuan. Beberapa institusi AUM justru hanya dikendalikan segelintir pihak yang proses terpilihnya tidak berdasarkan semangat demokratis dan profesionalis Muhammadiyah.
Stabilitas organisasi jadi alasan
Permasalahannya, apakah fenomena ini selalu membawa kemajuan bagi AUM atau sebaliknya, justru menjadi penghambat?
Perlu dipahami, Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang sejak awal menekankan kepemimpinan berbasis musyawarah dan kolektivitas. Karena itu, munculnya praktik tata kelola AUM dengan personal-personal yang terlalu dominan — yang dengan mudahnya mengabaikan kesadaran kolektif kolegial — perlu di pertanyakan. Jabatan struktural dalam AUM —misalnya: rektor, dekan, kepala sekolah, takmir, dan lain sebagainya — terkadang lebih bersifat personal daripada profesionalitas. Akibatnya, seringkali muncul kebijakan yang tidak berorientasi untuk kebaikan bersama, namun lebih pada kepentingan individu-individu atau kelompok tertentu saja. Bahkan tidak jarang kepentingan lembaga (AUM) atau persyarikatan menjadi korban.
Tentunya kondisi seperti itu tidak boleh terus-menerus mengalami pembiaran. Pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah, secara bertingkat melalui majelis-majelis terkait harus melakukan pengawasan dan pendampingan. Kepemimpinan AUM yang kehilangan semangat kolektif kolegial haruslah mendapatkan pembinaan secara sungguh-sungguh. AUM tidak boleh menjadi ‘kerajaan’ yang bisa bertindak tanpa peduli asas kolektif kolegial. Penataan dan pengelolaan lembaga berbasis transparansi, partisipasi, akuntabilitas harus lebih ditekankan. Loyalitas pegawai AUM haruslah loyalitas kepada Persyarikatan, bukan pada personal pengelola/pengurus AUM semata.
Tak terpungkiri, para ‘raja kecil’ itu seringkali beralasan “stabilitas kepemimpinan lembaga/AUM”. Harus di akui, keputusan yang hegemonik seorang pemimpin akan mampu mempercepat eksekusi kebijakan tanpa perdebatan yang bisa berlarut-larut. Padahal dampaknya cukup nyata, tanpa musyawarah — yang mungkin akan di warnai perdebatan — maka stabilitas yang ada hanya stabilitas semu. Bukankah AUM yang sehat adalah AUM yang bisa memberi ruang bermusyawarah, inovatif dan berkembang sesuai harapan bersama? Bukan AUM yang mengebiri kreativitas karena kebijakan-kebijakan sepihak beberapa gelintir orang yang kebetulan sedang menjabat sebagai pengurus strukturalnya.
Sampai hari ini saya masih merasa sangat prihatin dengan menyaksikan fenomena ‘kerajaan kecil’ dengan ‘raja-raja’ yang sangat kuasa. Mereka yang — menurut saya — bisa saja tidak mengenal ruh Muhammadiyah justru memandang “kader-kader Muhammadiyah” sebagai penghambat ambisi. Dalam banyak hal seringkali kader-kader persyarikatan ditinggal begitu saja, dan divonis “tidak sejalan” dengan impinan dan kepentingan pribadi pengurus. Bahkan adakalanya, jika terdeteksi sebagai kader dari ortom, justru semakin ditutup peluangnya untuk masuk dalam lingkaran AUM.
Dampak ikutannya telah banyak kita rasakan. Diantaranya, sulitnya terjadi regenerasi kepemimpinan di AUM, kegiatan kaderisasi yang dilaksanakan hanyalah formalitas belaka. Terlebih lagi, Persyarikatan Muhammadiyah sebagai induk dari AUM justru abai dengan fenomena ini. Persyarikatan Muhammadiyah masih belum maksimal dalam mempedulikan aspek kaderisasi di AUM. Hal itu terlihat dari stagnasi kaderisasi di AUM, yang di tandai dengan masih berputar-putarnya wajah lama yang sekedar bergeser posisi. Termasuk wajah-wajah lama yang tidak memberikan kontribusi dalam proses pembaharuan gagasan, pembaharuan strategi pengembangan tata kelola AUM. Seyogyanya hal seperti ini masuk dalam pantauan dan evaluasi Persyarikatan Muhammadiyah pada masing-masing tingkatannya.
Potensi AUM jangan dikebiri
AUM memiliki potensi besar menjadi lokomotif perubahan bagi umat dan bangsa, jika pengelolannya dapat berjalan dengan prinsip yang benar. Tanpa adanya desain tata kelola yang baik dan amanah dari pengurus/pengelola dan hanya lebih untuk melanggengkan jabatan, maka stagnasi akan terus terjadi.
Dalam pengelolaan AUM, Pengurus AUM harus memiliki 3 kompetensi. Pertama, memiliki jiwa kepemimpinan transformatif. Pengurus AUM yang mampu menerjemahkan nilai-nilai Keislaman dan Kemuhammadiyahan menjadi budaya dan perilaku. Kedua, memiliki kemampuan memobilisasi dn memetakan potensi yang ada. Dengan demikian, AUM tidak hanya tampak indah dalam citra, tapi juga menonjol dari sisi kualitasnya. Ketiga, mampu merumuskan agenda strategis bagi kemajuan AUM. Karena itu, Pimpinan Persyarikatan dan pengurus AUM harus memiliki kemampuan membaca situasi dan merumuskan strategi untuk kemajuan AUM yang dikelolanya.
Kader-kader Muhammadiyah yang berada di lingkungan AUM harus lantang bersuara dan berkontribusi dalam memperbaiki sistem tata kelola dan memajukan AUM. Tata kelola AUM harus terjaga semangat kolektif kolegialnya, agar tidak bergantung pada individu tertentu — yang penulis sebut ‘raja kecil’ — yang berpotensi menghambat kaderisasi dan progres AUM. Karena itu, kritik konstruktif jangan berhenti, tetapi demi kebaikan bersama untuk tujuan masa depan AUM dan Persyarikatan.
Apapun argumentasinya, maju-mundurnya AUM ada di pundak kader dan warga yang cinta Muhammadiyah. Saatnya kita bertekad kemajuan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) secara kolektif kolegial. Kepemimpinan dan kepengurusan bukan soal siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana kita mengelola amanah dengan penuh tanggung jawab.
Mari kita hadirkan kepemimpinan transformatif yang menurut Prof Haedar Nasir, yaitu kepemimpinan yang memiliki wibawa moral dan keteladanan, kemampuan mobilisasi potensi, kemampuan mengagendakan perubahan, dan memproyeksikan masa depan. (*)
Editor Notonegoro