PWMU.CO – Bercadar seolah menjadi trend baru di masyarakat. Berbagai kalangan seperti ustadzah, ibu rumah tangga, mahasiswi, atau artis menggenakan cadar di dalam aktivitasnya.
Apakah bercadar ini bagian dari kesadaran teologis atau hanya mengikuti trend fashion?
Pertanyaan itu coba dijawab Sholihul Huda, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya). Ia mengatakan, terdapat dua pendapat (paham) berbeda terkait cadar di kalangan ulama dan para Imam Mazhab.
Padangan pertama menyebutkan pemakaian cadar (niqab) adalah wajib dan berdosa bagi yang tidak memakainya. Pendapat ini, kata Sholik–sapaan akrabnya–menganngap bahwa wajah wanita termasuk aurat yang wajib ditutup dan haram dilihat bagi yang bukan muhrimnya.
“Pendapat ini didasarkan pada tafsir surat Al Ahzab ayat 59. Para Mufasirin seperti Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan lainnya berpandangan ada kewajiban bagi semua muslimah untuk menutup aurat dengan jilbab. Termasuk semua kepalanya,” ujar anggota Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur saat dihubungi, Senin (11/12/17). Walaupun, sambung Sholik, para Mufasirin masih berdebat terkait makna jilbab itu sendiri.
Pandangan kedua menyatakan, bercadar bukan wajib. Pendapat ini didasarkan pada pemahaman wajah bukan termasuk aurat yang harus ditutup.
Sholik menjelaskan, ketidakwajiban wanita bercadar ini didasarkan ijma Sahabat, para ulama Salaf, para Imam Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Assyafiyah, dan Hambali yang didasarkan dari Hadits Nabi SAW.
“Mereka berpendapat bahwa dalam shalat dan thawaf muka dan telapk tangan harus kelihatan,” jelas dia.
Sementara itu, kata Sholik, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah lebih sepakat pada pendapat kedua. Yaitu, aurat wanita yang wajib ditutup adalah semua, kecuali wajah dan telapk tangan. “Ini artinya wajah dan tangan boleh terbuka dan tak harus ditutup,” ungkapnya.
Sholik menyebutkan, memakai cadar tidak ada dalilnya. “Ini artinya memakai cadar bukanlah urusan syariat yang ada konsekuensi hukum dosa atau pahala,” terangnya.
Kandidat Doktor UINSA Surabaya ini mengimbau kepada umat Islam yang bercadar maupun yang tidak supaya saling menghormati dalam konteks relasi sosial.
“Perbedaan adalah hal wajar dari metode tafsir yang digunakan masing-masing ulama,” tuturnya. “Yang penting kita tidak boleh saling memaksakan dan sok paling benar.”
Fenomena ini, lanjut Sholik, juga sudah dikaji dalam Tadarus Peradaban yang diadakan Pusat Pengkajian Al Islam dan Kemuhammadiyahan (PPAIK) UMSurabaya pada tanggal 6 Desember 2017 lalu. (Aan)