Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy *)
PWMU.CO – Tulisan ini sekadar mengingatkan akan sejarah politik bangsa Indonesia di seputar persidangan BPUPKI. Seperti diketahui, ketika kita dulu sekolah SMP atau SMA, ketika membahas sejarah Indonesia seputar sidang BPUPKI, selalu saja disuguhkan hanya tiga pidato tokoh nasionalis: Soekarno, Moh. Yamin, dan Soepomo.
Sementara seakan sepi tak ada satu pun wakil Islam yang berbicara. Padahal faktanya banyak tokoh Islam yang berbicara, salah satunya Ki Bagoes Hadikoesoemo yang saat itu menjabat Ketua PB Moehammadiyyah. Ki Bagoes menyampaikan pidatonya pada persidangan BPUPKI kedua, tanggal 31 Mei 1945.
Selama berpuluh-puluh tahun notulensi pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo ini tidak pernah dimuat dalam dokumen resmi negara. Berikut beberapa petikan dari pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo:
“Tuan-tuan dan sidang yang terhormat! Dalam negara kita, niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya satu pemerintahan yang adil dan bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur, bersendi permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak memaksa tentang agama. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintahan itu atas agama Islam, karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat itu.”
Sambil mengutip Alquran surat An-Nahl: 90, An Nisa: 5, Ali Imron: 158, Asy-Syura: 38 dan Al-Baqarah: 256, Ki Bagoes Hadikoesoemo melanjutkan pidatonya:
“Dengan ayat-ayat yang singkat ini, cukuplah kiranya sudah untuk mengetahui bahwa agama Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan patut tuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara kita Indonesia ini. Tetapi di antara tuan-tuan ada juga orang-orang yang tidak setuju negara kita ini berdasarkan agama.”
Pada bagian akhir pidatonya, Ki Bagoes mengatakan:
“Oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia juga yang asli dan murni belum ada campurannya; dan sebagai seorang Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan Merdeka, maka supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia itu berdasarkan agama Islam.
Sebab, itulah yang sesuai dengan keadaan jiwa rakyat yang terbanyak, sebagaimana yang sudah saya terangkan tadi.
Janganlah hendaknya jiwa yang 90 persen dari rakyat itu diabaikan saja tidak dipedulikan. Saya khawatir apabila negara Indonesia tidak berdiri di atas agama Islam, kalau-kalau umat Islam yang terbanyak itu nanti bersifat pasif atau dingin tidak bersemangat: sebagaimana yang dikuwatirkan juga oleh tuan Kiai Sanusi tadi. Tetapi saya mengharapkan jangan sampai kejadian demikian.
Tuan-tuan, sudah banyak pembicara yang berkata, bahwa agama Islam itu memang tinggi dan suci. Sekarang bagaimana kalau orang yang tidak mau diikat oleh agama yang sudah diakui tinggi suci, apakah kiranya akan mau diikat oleh pikiran yang rendah dan tidak suci?
Kalau jiwa manusia tidak mau bertunduk kepada agama perintah Allah, apakah kiranya akan suka bertunduk kepada perintah pikiran yang timbul dari hawa nafsu yang buruk? Pikirkan dan camkanlah tuan-tuan.”
Sumber: Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati (Editor). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta, 1998.[*]
*) Ma’mun Murod Al-Barbasy adalah Guru Ilmu Politik FISIP UMJ