Dalam penelitian Arya, kedua tokoh itu bersepakat mendirikan organisasi untuk memajukan Islam, hingga lahirlah NW. “Dalam menjalankan NW, Mas Mansur menganggap Hasbullah yang 8 tahun lebih tua sebagai senior, sebaliknya Hasbullah menganggap Mansur sebagai sosok yang cerdas dan memiliki potensi memimpin umat,” jelas Arya.
Selain beraktivitas di NW, duet ini juga menjadi sponsor kelahiran Taswirul Afkar pada 1918. Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya mau tidak mau merembet pada masalah khilafiyah, ijtihad, dan madzhab. Terjadinya perbedaan pendapat antara keduanya menyebabkan Mas Mansur keluar dari Taswir al-Afkar, dan lebih berkonsentrasi membesarkan Muhammadiyah Surabaya.
Pada tahun 1921, sesaat setelah berhasil meyakinkan Mas Mansur bergabung dalam Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan mengemukakan kegembiraannya pada koleganya di Jogjakarta. Sapukawat Jawa Timur sudah berada di tangan, begitu kira-kira bahasanya. Julukan yang menggambarkan Mansur sebagai salah satu eksponen penggerak masyarakat. Dalam usia muda, dia telah mampu menjadi pemimpin yang selalu memelopori ragam pembaruan.
(Baca: KH Mas Mansur, Sehari Khatamkan Minimal 1 Juz dan 5 Cerita Kedekatan Soekarno dan Mas Mansur)
Julukan Sapukawat yang diberikan KH Ahmad Dahlan, memang menemui fakta dalam sejarah hidup Mansur. Ketika ikrar mendirikan Muhammadiyah Surabaya dan menjadi ketuanya, Mansur masih berusia 25 tahun. Usia 31 tahun didaulat sebagai Ketua Majelis Tarjih. Empat tahun kemudian, ketika Konsul Jawa Timur didirikan, Mansur juga dipercaya sebagai pengemudinya.
Puncaknya, pada 1937, Mansur yang berusia 41 tahun dipercaya sebagai Ketua PB Muhammadiyah dalam Kongres ke-26 di Jogjakarta. Banyak hal pantas dicatat sebelum dia terpilih. Suasana yang berkembang saat itu adalah ketidakpuasan angkatan muda yang menganggap kebijakan PB Muhammadiyah terlalu mengutamakan pendidikan, dan melupakan tabligh.
Mereka berpendapat bahwa PB hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua: KH Hisyam, KH Mukhtar, serta KH Syuja’. Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada tahun 1937, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut.
Maka, ketika para utusan dan konsul sudah datang sebelum kongres, Ki Bagus Hadikusumo dan RH Hadjid –dua orang tua berpandangan maju– mengambil inisiatif. Keduanya menghubungi 3 konsul yang telah datang: AR. Sutan Mansur (Minangkabau), Tjitrosoewarno (Pekalongan), dan Moeljadi Djojomartono (Surakarta).