PWMU.CO – Baru-baru ini Andrew Rosser, seorang peneliti dari Lowy Institute yang bermarkas di Sydney, Australia mempublikasikan hasil risetnya atas pendidikan di Indonesia dengan judul Beyond Access: Making Indonesia Education System Works.
Kesimpulannya : sistem pendidikan Indonesia gagal mencapai tujuannya “berdaya saing internasional”, terutama karena sebab-sebab politik. Para elite politik, birokrat, dan perusahaan tidak memungkinkan reformasi pendidikan di Indonesia dilakukan.
Andrew Rosser menuding sebab politik sebagai masalah terbesar, walaupun ada masalah lain seperti anggaran yang terbatas. Andrew mengatakan bahwa agenda reformasi pendidikan sering terganggu oleh perubahan politik dan kekuasaan.
Temuan Andrew Rosser ini perlu saya beri catatan. Pertama, dari judulnya, Andrew telah mengatakan bahwa persoalan pendidikan di Indonesia bukan lagi masalah akses, tapi bagaimana meningkatkan mutu pendidikan. Namun segera harus saya katakan bahwa Andrew gagal membedakan antara sistem pendidikan nasional dan subsistem persekolahannya.
Melihat data-data yang disajikan, Andrew masih gagal membedakan antara pendidikan education dan persekolahan schooling. Ini kesalahan pokok banyak analisis pendidikan, termasuk yang dilakukan Andrew ini.
Segera harus dikatakan, bahwa begitu pendidikan dipersempit menjadi persekolahan, maka pendidikan justru menjadi barang langka scarce resources. Akses ke pendidikan justru menciut. Ini prinsip ekonomi yang sangat elementer yang ternyata banyak tidak dipahami oleh peneliti pendidikan. Pendidikan bagi semua hanya mungkin dilakukan oleh semua, yaitu keluarga utamanya dan masyarakat, serta sekolah.
Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara sudah mengingatkan kita dengan konsep Tri Sentra Pendidikan: keluarga, masyarakat, dan perguruan. Jadi untuk meningkatkan akses pendidikan, kita justru harus membebaskan sistem pendidikan nasional dari cengekeraman persekolahan.
Masalah pendidikan adalah persoalan memperluas kesempatan belajar learning opportunities, bukan kesempatan bersekolah. Justru dengan fokus pada perluasan kesempatan belajar inilah akses pada pendidikan akan meningkat. Teknologi internet semakin memungkinkan perluasan kesempatan belajar ini.
Kedua. Persekolahan massal adalah instrumen teknokratis untuk menyiapkan tenaga kerja terampil dalam jumlah yang cukup dalam tempo secepat-cepatnya. Kemassalan persekolahan ini menjadi pintu masuk bagi standardisasi. Tidak memenuhi standard artinya tidak bermutu.
Persekolahan tidak pernah tertarik dengan pembentukan karakter, berpikir kritis, dan mencerdaskan bangsa, apalagi kemerdekaan jiwa. Di sekolah murid belajar menjadi orang lain sesuai standard, tidak untuk menjadi dirinya sendiri.
Keterperangkapan dalam jebakan mutu berbasis standard itu akhir-akhir ini makin obsesif dan menjadi-jadi. Yang terjadi kemudian adalah pembengkakan sistem persekolahan dengan tuntutan anggaran yang makin besar, kontrol birokrasi yang makin ketat, namun outcomes-nya makin jauh panggang dari api. Saya menyebutnya sebagai fenomena “banyak persekolahan tapi makin sedikit pendidikan”.
Anjuran Andrew untuk fokus pada mutu dengan demikian tidak saja tidak efektif namun juga sekaligus menyesatkan. Namun Andrew bukan penganjur mutu yang pertama. Pikiran para birokrat pendidikan kita juga sudah tersihir oleh “mantra mutu” ini. Tidak bersekolah berarti tidak bermutu, tidak kompeten, kampungan, dan tertinggal. Melalui obsesi mutu berbasis standard ini, secara perlahan tapi pasti kita telah menelantarkan relevansi. Pendidikan melalui persekolahan menjadi sangat teknokratis hanya untuk melayani pasar dan menyiapkan tenaga kerja saja.
Melalui lingkungan yang “keranjingan mutu” itu, kita kemudian sempat tersadar oleh “keterpurukan karakter” peserta didik kita. Setiap pendidik tentu tahu, pembentukan karakter sangat terkait dengan relevansi personal, spasial dan temporal. Persekolahan massal tidak mungkin membentuk karakter karena mengabaikan relevansi, atau kebermaknaan dalam belajar.
Ketiga, Andrew benar bahwa reformasi pendidikan nasional kita terhambat oleh intervensi para elite politik, birokrat dan pengusaha. Tapi rekomendasinya keliru. Para elite kita saat ini sudah tersihir mutu. Mungkin sudah kesurupan mutu. Mendorong relevansi berarti melahirkan warga berkarakter, cerdas dengan jiwa merdeka. Ketiga hal ini akan menimbulkan ketidakpastian, mengganggu investasi politik, dan ekonomi para elite.
Sukolilo, 26 Pebruari 2018
Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya.
Discussion about this post