PWMU.CO – Muhammadiyah itu jangkarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Artinya, keberadaan Persyarikatan ini menjadi penyeimbang dan penguat ketenangan negara.
Hal itu dikatakan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Hajriyanto Y. Thohari dalam acara Konsolidasi Muhammadiyah Jawa Timur di Tahun Politik yang diadakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik di Aula Mas Mansyur, Sabtu (28/4/2018).
Hajri dalam kesempatan itu diminta menyampaikan materi tentang urgensi partisipasi aktif Muhammadiyah dalam penyelenggaraan negara.
“Kalau gak percaya Muhammadiyah adalah jangkarnya NKRI, coba saja bubarkan. Dijamin negara ini akan menjadi Taliban seperti negara Afganistan. Pasti itu,” katanya disambut tepuk tangan hadirin. Meskipun tanpa ikut-ikutan menjadi penyelenggara negara pun, sambung Hajri, Muhammadiyah tetap jadi jangkarnya NKRI.
Sayangnya, posisi sebagai jangkar ini tak diperhatikan oleh nakhoda negara. Menurut dia, ketidaktahuan penyelenggara pentingnya peran Muhammadiyah itu karena negara ini tidak diurus oleh orang Muhammadiyah. Maka dari itu, Hajri mendorong kader Muhammadiyah untuk ikut serta menjadi pengelola negara sehingga negara Indonesia tidak dipimpin oleh orang yang tidak tahu dan tidak memahami agama Islam.
Kader Muhammadiyah, lanjut dia, harus ada yang duduk sebagai anggota legislatif atau pemegang kekuasaan legislasi seperti DPR, DPD, MPR dan DPRD. Selain itu, kader Muhammadiyah bisa duduk di kursi eksekutif atau pemegang kekuasaan eksekutif yang memiliki fungsi eksekutor.
“Muhammadiyah harus bisa mendudukkan kadernya menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, dan lainnya. Juga ada yang duduk di MA, MK, KY,” imbaunya.
Hajri mengingatkan, kalau orang baik di Muhammadiyah tidak ada yang mau menjadi penyelenggara negara, maka orang abangan dan tidak tahu Islam yang bakal mengisinya. “Bayangkan saja bila orang seperti itu yang memimpin negara ini. Ya jadinya seperti saat ini,” lanjutnya.
Hajri mengajak kader Muhammadiyah agar tidak terlalu serius menyikapi dan menghadapi dinamika politik kebangsaan yang berkembang. “Santai saja melihat dinamika politik. Rileks saja. Itu biasa dalam politik,” tandasnya. (Aan)