Selain Hadi, tampil pula Diyana Mufidati yang mewakili alumni putri. Wakil Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah Lamongan tahun 2015-2020 ini menjelaskan bahwa tinggal di pesantren itu seperti miniatur kehidupan di masyarakat. “Banyak ilmu dan pengalaman di pondok yang nanti bisa diaplikasikan di kehidupan masyarakat,” jelasnya.
Diyana sendiri merasakan hal itu, seperti pengalamannya selalu dibangunkan oleh (alm) Kyai Mukhlis Sulaiman untuk menunaikan shalat tahajjud. “Alhamdulillah saya masih istiqamah bangun malam. Dan meniru Pak Kyai, saya pun sekarang membangunkan keluarga dan sahabat untuk bisa bangun malam. Termasuk lewat grup WhatsApp,” Diyana bercerita.
Lebih jauh, Diyana juga mencontohkan manfaat saat menjadi santri. “Dengan bekal dari Pak Kyai, saya dan suami saat ini, alhamdulillah termotivasi berdakwah di masyarakat yang sering disebut abangan,” katanya. Diyana bercerita bahwa rumahnya di Desa Songowareng, Kecamatan Bluluk, Kabupaten Lamongan, diapit dua gereja. “Tidak mudah berdakwah di sana. Tapi bekal di pesantren sangat bermanfaat,” tuturnya.
Bisa hadir dan berbagi pengalaman pada adik-adik santri, Diyana merasa terharu dan bersyukur. ”Saya ingin menangis tapi saya tahan air mata, berganti senyum bahagia, saat kami berada di tengah santri dan alumni,” katanya. Di akhir “ceramahnya”, Diyana tak lupa berpesan pada para santri yang baru diwisuda, agar saat hidup di tengah masyarakat, selalu berjuang melalui Persyarikatan Muhammadiyah, menegakkan izzul Islam wal Muslimin. “Kalian telah digembleng di Pasantren Muhammadiyah ini. Maka jangan lupakan!” ujarnya.
(Baca juga: Lewat WhatsApp, Para Alumni Galang Dana untuk Almamater)
Lain lagi dengan Maslahul Falah. Lulusan Fakultas Syariah IAIN (kini UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini sangat terkesan dengan (alm) Kyai Muklis Sulaiman, yang memberinya banyak pelajaran ilmu ikrabul quran, yaitu ilmu untuk memahami perubahan bacaan Alquran sesuai dengan kedudukan kalimah (kata) dalam jumlah (kalimat). “Saya kira ikrabul quran adalah salah satu ciri Pesantren Muhammadiyah ini. Ia adalah warisan almarhum yang harus dipertahankan,” kata dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) Pondok Pesantren Karangasem Paciran Lamongan.
Pengalaman Falah yang tak terlupakan adalah soal ikrab ketika ngaji hari Jumat bakda Subuh. Dia disuruh Kyai Mukhlis mengikrab surat Fushshilat Ayat 46. Di akhir ayat bizhallamin lil abid, saat mengikrab kata “ba’”, Falah ditegur Kyai, karena salah dalam mengartikannya. “Ba’” di ayat itu bukan berarti “dengan”, melainkan lil tak’kid atau penekanan. Itulah huruf jer zaid (tambahan). “Peristiwa itu, saya ingat sampai sekarang,” katanya. “Bahkan saat kuliah di Yogya, saya sempat berdebat soal huruf ba’ itu dengan seorang Kyai, yang berpendapat tidak ada huruf jer zaid.”
Falah, yang telah menulis beberapa buku, di antaranya Islam ala Soekarno; Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal di Indonesia, dalam rangka menjaga tradisi ikrabul quran warian pendiri pesantren, (alm) KH Mukhlis Sulaiman, mencoba menuliskannya dalam buku sederhana. Buku berjudul belajar Ikrab Alquran itu dibagikannya pada para alumni dan santri Pondok Pesantren Muhammadiyah Babat. Falah, menurut beberapa alumni memang termasuk yang pantas menjadi salah satu penerus Kyai Mukhlis. Selain penguasaan atas ilmu ikrabul quran yang mumpuni, juga karena aktivitasnya yang bergelut dengan dunia pendidikan dan dakwah. Baca sambungan di hal 3 …