PWMU.CO – Kekayaan laut bukan menjadi bencana, tapi menjadi solusi bagi nelayan. Hal ini disampaikan aktivis nelayan tradisional Sugeng Nugroho dalam seminar Sinergi Kegiatan Usaha Hulu Migas dengan Pemberdayaan Perempuan Pesisir, Kamis (10/5/18).
Bertempat di Gedung Koperasi Pegawai Negeri (KPN) Ujungpangkah, kegiatan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang Nasyiatul Aisyiyah (PCNA) Ujungpangkah yang didukung SKK Migas dan PGN tersebut diikuti aktivis perempuan dan kepemudaan, baik dari Pimpinan Ranting Nasyiatul Aisyiyah se-Kecamatan Ujungpangkah, GP Ansor, angkatan muda Muhammadiyah, dan nelayan.
Sugeng—sapaannya—menyampaikan, kondisi nelayan saat ini dikatakan belum sejahtera karena ternyata 25 persen orang miskin di Indonesia berada di kampung-kampung nelayan. “Padahal kontribusi nelayan dapat dipertimbangkan sebagai salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan Indonesia, disamping produk-produk pertanian,” ungkapnya.
Ketua Bidang Divisi Organisasi dan Ideologi DPP KNPI ini juga mengatakan, ada empat hambatan mendasar dalam menyejahterakan nelayan.
Pertama, ketimpangan agraria kelautan. Nelayan tradisional menangkap ikan berada di bawah 12 mil laut dan ini juga dilakukan oleh kapal berbobot 30-100 GT. “Ini berdampak pada tingginya kompetisi penangkapan ikan di perairan sehingga nelayan kecil kalah karena minimnya armada dan alat tangkap,” ujarnya.
Kedua, ketimpangan infrastruktur. “Sekitar 68 persen berada di kawasan barat Indonesia, 25 persen bagian tengah, dan 7 persen di kawasan timur. Kenyataannya, infrastruktur banyak di kawasan barat dan sumber daya ikan melimpah di kawasan timur,” paparnya.
Ketiga, ketimpangan pengelolaan perikanan. Dan keempat, ketimpangan riset dan teknologi.
Sugeng menambahkan, peran perempuan pesisir tidak banyak atau hanya menjadi bayangan dari nelayan kaum pria. “Optimalisasi peran perempuan dapat dicapai melalui integrasi kebijakan pembangunan dan pemberdayaan perempuan pesisir ke dalam kebijakan nasional, propinsi, dan kabupaten,” pungkasnya. (Fauzi)