PWMU.CO-Muslim sejati harus memiliki kepekaan terhadap adat dan syariat yang dicampur aduk masyarakat karena tak sedikit dari masyarakat menganggap adat sama dengan syariat. Sehingga terjadi pengoplosan antara haq dan bathil. Dan itu terjadi dari tahun ke tahun. Praktik mereka hanya bisa dirasakan ketika menjelang ramadan seperti ini.
Pesan tersebut disampaikan Dahlansae dalam khutbah jumat dengan tema Antara Syariat dan Adat di masjid At-Takwa Bendo Pare, Kediri, Jumat (11/5/2018).Dalam menyampaikan pesanya, Dahlansae mengawali dengan mengutip surat edaran yang dikeluarkan Ketua Majelis Tabligh PCM Pare, KH Rojikin SH. Dalam surat edaran yang ditujukan kepada para muballigh dan takmir se Cabang Pare itu disebutkan mengenai fenomena masih banyaknya kesibukan dilakukan manusia menjelang, selama, bahkan saat ramadan hingga ramadan tahun ini dan tahun depan, berupa pencampur adukkan antara syariat dan adat.
“Keduanya sengaja dicampur aduk, dan pastinya bagi orang awam sulit membedakannya,” beber dia.
Padahal, lanjut dia, pada umumnya sebagian besar masyarakat muslim telah mengetahui, apa yang harus dikerjakan ketika ramadan. Dia melihat praktik tersebut bisa saja terjadi akibat pengaruh lingkungan yang mengajarkan stagnasi, mungkin juga lingkungan yang berpegang teguh pada ajaran nenek moyang mereka.
Hal-hal yang tidak bernilai syariat, kata dia, dioplos dengan adat istiadat, padahal kebenaran dan kebatilan dilarang untuk dicampur sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Baqoroh ayat (42). Dia kemudian mencontohkan praktik pencampur adukan antara syariat dan adat seperti budaya nyekar (kirim bunga) ke kuburan. “Cuma biasanya didahului dengan bacaan tahlil, baca surat al Fatihah, kemudian surat Yaasin,” ucap dia.
Tujuan yang diharapkan, tambah dia, adalah adanya transfer pahala untuk penghuni kuburan. Padahal transfer pahala termasuk permasalahan yang mengada-ada, bahkan sama sekali tidak disyariatkan bahkan menurut al Qur’an dalam surat al Haj ayat (3), praktik seperti itu terindikasi sebagai pengikut setan.
Hasilnya, terang dia, apa yang mereka baca sama sekali tidak akan membuahkan pahala, bahkan cenderung dosa. Karena Nabi tidak pernah mencontohkan. Kuburan, kata dia, bukanlah tempat membaca al Qur’an sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadits riwayat Muslim. Hadits tersebut menegaskan larangan menjadikan rumah rumah seperti kuburan yang tidak dibacakan al Quran, karena setan akan lari menjauhi rumah yang dibacakan surat al Baqoroh.
“Maksudnya, jangan membaca al Quran di kuburan, agar setan tetap tinggal di kuburan bukan anda usir dari kuburan, karena kuburan kamu bacakan al Quran,” guraunya. Walaupun dibacakan al Quran, lanjut dia, dikirim surat al Fatihah, tidaklah mengurangi dosa penghuni kubur, sebab seseorang berdosa tidak memikul dosa orang lain.
Lebih lanjut, dia mengatakan sejarah masuknya Islam di nusantara berawal dari proses jalur perdagangan. Para ulama yang datang dari belahan Asia mengembangkan agama Islam sejak dimunculkan Wali Songo, konon mereka menyiarkan agama Islam dengan penuh kesungguhan. Terlepas benar tidaknya jauh sebelum Wali Songo banyak juga ulama dari berbagai negara yang telah tiba dan mensyiarkan Islam di nusantara, dan mereka juga berdakwah ke berbagai pelosok desa, lembah gunung dengan mempergunakan metoda pendekatan budaya.
Aqidah yang ditanamkan, kata dia, memakai pendekatan adat, dilakukan secara telaten dan memberikan pemahaman yang membekas. Sejujurnya inilah teknik dakwah halus, tanpa ada kekerasan apalagi dengan menghunus pedang. Para ulama faham betul kisah nabi Musa dan Nabi Harun, Allah menyuruh agar berbicara dengan lemah lembut sebagaimana disebutkan dalam Quran surat Thaha ayat (44). “Melalui perkataan maupun perbuatan lemah lembutlah seseorang tersentuh jiwanya, termasuk penduduk nusantara takluk dan secara berbondong bondong masuk Islam,” ucapnya.
Dengan perantara ucapan lisan yang lemah lembut, kata dia, ditambah penampilan para ulama yang jujur, selalu mencerahkan maka Islam disambut dengan baik bahkan mengalami lompatan perkembangan yang menakjubkan. Namun ada sejumlah problem yang muncul, yakni lahirnya kaum opo Jare kyai, ada Islam abangan, ada Islam fanatik yang menutup diri dari tajdid, tidak tahu menahu sejarahnya, tidak pula mau memperdalam ilmu agama, mereka merasa sudah cukup puas dari dawuh poro kyai, inilah akibat islam yang datangnya melalui pendekatan budaya. Ia mengatakan hingga pada era digital saat ini masih dilestarikan upacara pernikahan, kematian, kelahiran, tetap disuguhkan arisan fatihah, bahkan ketika menyambut datangnya puasa, masih dilangsungkan upacara megengan, dan yang memprihatinkan ritual ritual tersebut dianggap sebagai sebuah amalan agama.
Menurut dia, para ulama terdahulu sebenarnya mempersilakan generasi berikutnya agar mau memperdalam agama Islam, sehingga bisa menuntun orang-orang beriman supaya mau masuk Islam secara keseluruhan atau kaffah sebagaimana firman Allah dalam surat al Baqoroh ayat (208).
Diakui, metoda dakwah kultural dan halus mudah diterima, walau terkesan membujuk secara halus. Namun sejatinya para ulama tempo dulu sangat berhati hati, sebab kalau dengan kekerasan dikhawatirkan sulit diterima.
Mengakhiri khutbah, dia menyayangkan Islam di Indonesia berpaling dari maksud ulama dahulu. Mereka sudah mensyariatkan budaya, terbalik 90 derajat dari tujuan awal bukan syariat yang bisa mewarnai budaya, dan sumber Islam dari al Qur’an dan As-Sunnah shokhih justru dikesampingkan. “Apabila kaum muslimin tidak dapat membedakan antara syariat dan adat maka berhati hatilah dan segeralah kembali ke al Quran dan As-Sunnah niscaya selamat dunia akhirat,” pungkasnya. (dahlansae Pare)