Kalau dilihat dari kalimat ”berpuasa penuh”, maka itu berarti puasa khusus, namanya puasa Sya’ban, semisal Ramadhan. Tetapi, kalau dilihat dari kalimat ”lebih banyak berpuasa”, maka menunjukkan puasanya Nabi itu adalah puasa-puasa sunnat yang ada.
Dan kalau alternatif (ihtimalat) itu kita padukan (ala thariqatil jam’i), maka dapat disimpulkan berikut. Pertama, jika mau puasa Sya’ban, maka puasa Sya’ban itu harus sebulan penuh. Kedua, jika tidak sebulan penuh, tetapi ingin banyak berpuasa, maka berpuasa sunat yang ada, semisal Senin-Kamis, ayyamul baidh, puasa Daud.
Jadi, tidak membuat puasa Sya’ban sendiri, sepekan misalnya atau tiga hari misalnya, dan seterusnya. Puasa semacam itu bid’ah, karena tidak ada contoh.
Namun puasa Sya’ban sebulan penuh, dengan redaksi bal kaana yashuumuhu kullahu (bahkan beliau pernah puasa sya’ban sebulan penuh), seperti riwayat Tirmidzi di atas, oleh Ibnul Mubarak dikatakan:
وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ قَالَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ هُوَ جَائِزٌ فِي كَلاَمِ الْعَرَبِ إِذَا صَامَ أَكْثَرَ الشَّهْرِ أَنْ يُقَالَ صَامَ الشَّهْرَ كُلَّهُ
Bahwa penyebutan “kebanyakan” dengan “semuanya” yakni: Rasulullah puasa Sya’ban sebulan penuh, dengan arti kebanyakan berpuasa Sya’ban.
Hal itu memang dibenarkan dalam percakapan orang-orang Arab. Misalnya dikatakan:
يُقَالُ قَامَ فُلاَنٌ لَيْلَهُ أَجْمَعَ وَلَعَلَّهُ تَعَشَّى وَاشْتَغَلَ بِبَعْضِ أَمْرِهِ
”Si Fulan shalat semalam penuh”, padahal sangat mungkin dia juga makan malam dan ada kesibukan-kesibukan yang lain.
كأَنَّ ابْنَ الْمُبَارَكِ قَدْ رَأَى كِلاَ الْحَدِيثَيْنِ مُتَّفِقَيْنِ يَقُولُ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّهُ كَانَ يَصُومُ أَكْثَرَ الشَّهْرِ
Seolah-olah Ibnul Mubarak memandang dua hadits (penuh dan kadang-kadang) itu sama. Sehingga makna hadits-hadits tersebut adalah “Bahwa Rasullah saw kebanyakan berpuasa di bulan Sya’ban.”
(Baca: Bagaimana Tuntunan Puasa Rajab? dan Teknologi Press Body: Antara Mobil dan Hijab)
Pendapat Ibnul Mubarak ini kelihatannya lebih rasional (ma’qul), karena memang tidak ada puasa sebulan penuh selain Ramadhan, berdasarkan ayat ayyamam ma’duudaat (puasa Ramadhan itu dalam beberapa hari yang telah dihitung, 29 atau 30 hari), dan juga firman Allah walitukmilul ‘iddata (maka sempurnakanlah puasa itu sampai sebulan penuh). Keduanya termaktub dalam QS al-Baqarah ayat 183-185.
Kesimpulannya, puasa Sya’ban secara khusus tidak ada, apalagi sampai ditentukan mulai tanggal-tanggal tertentu. Sementara puasa Sunat, seperti Senin-Kamis, Daud, ayyamul baidh, dan sejenisnya di bulan Sya’ban itu baik-baik saja, berdasar anjuran Nabi untuk berpuasa di bulan-bulan haram.
Tuntunan ini diolah dari buku Islam dalam Kehidupan Keseharian, karya KH Mu’ammal Hamidy (Surabaya: Hikmah Press, 2012)