Selain di Ende, Muhammadiyah juga mendirikan SMP di Serui, Papua. Jumlah penduduk di kabupaten ini sebesar 62.030 jiwa dengan komposisi penduduk menurut agama, Protestan 68,7%, Islam 29,5%,dan Katolik 1,6%.
Baik SMA Muhammadiyah Ende maupun SMP Muhammadiyah Serui memberi para murid Kristen mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen yang diajarkan oleh seorang guru beragama Kristen pula. Bahkan, di sekolah Muhammadiyah Ende, mata pelajaran ini sudah diberikan sejak 1971, jauh sebelum undang-undang yang mengharuskan adanya pelajaran agama yang sesuai dengan agama masing-masing siswa dikeluarkan pada 2003.
Di kedua sekolah, para guru Kristen tidak hanya mengajar kelas Pendidikan Agama Kristen. Namun ada juga yang mengajarkan mata pelajaran lain kepada siswa Kristen maupun Muslim, tentu saja selain pelajaran yang terkait dengan agama Islam. Para guru ini merasa pengalaman bekerja di sekolah-sekolah Muslim membantu mereka memahami Islam dan Muslim, pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian besar siswa.
(Baca: Nonmuslim pun Berterima Kasih pada Muhammadiyah dan Hajriyanto: Muhammadiyah Tak Perlu Banyak Produksi Kata-Kata)
Tak heran jika dalam perhelatan Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar 2015 kemarin, ada dua “penggembira” istimewa: Frans Takanyuai dan Kris Kobogo. Sebagaimana yang dicatat oleh MATAN, Majalah bulanan yang diterbitkan PWM Jawa Timur, keduanya bukanlah warga Muhammadiyah. Bahkan bukan pula warga yang beragama Islam. Keduanya beragama Nasrani, yang mengajar di sekolah Muhammadiyah. Kedatangan keduanya di Muktamar karena diutus oleh Ketua Muhammadiyah Kepulauan Yapen, Papua, Adhan Arman Wollong.
Frans menjadi Guru Agama Nasrani di SMP Muhammadiyah Yapen sejak 2003, sementara Kris mulai mengajar Pendidikan Jasmani dan Kesehatan di SMK Muhammadiyah Yapen. “Dari 125 siswa di SMP Muhammadiyah Yapen, 90 persen Nasrani,” kata Frans.
Hal sama diungkapkan Kris. “Kami di SMK Muhammadiyah Yapen membina ratusan siswa, 90 persen di antaranya juga Nasrani. Kami bersyukur dan sangat berterima kasih kepada Pak Adhan karena memberi kesempatan kepada anak-anak kami untuk belajar di SMK Muhammadiyah,” kata Kris.
(Baca: Ini Penjelasan Mengapa Sekolah Muhammadiyah Tak Harus Lahirkan Kader Muhammadiyah dan Kiai Dahlan Dirikan Sekolah Nasionalis 11 Tahun Sebelum Ki Hajar Dewantara)
Hal senada juga diungkap Hajriyanto Y Thohari dalam iftitah pelantikan PDM dan PDA Kota Probolinggo, Ahad (1/5). Menurut Hajri, sekolah Muhammadiyah hadir di daerah yang mayoritas non-muslim, untuk memberikan contoh, bahwa Muhammadiyah mengajarkan toleransi.
”Seperti sekolah kita yang di Sorong, 80 persen siswanya adalah non-Muslim. Di situ kita tanamkan toleransi beragama,” tegasnya. Muhammadiyah, tambah Hajri, seringkali menampilkan keteladanan dalam bentuk praktik langsung. Ketika orang lain masih “belajar” berbicara pentingnya toleransi dalam kehidupan antaragama, Muhammadiyah telah mempraktikkan sejak jauh hari. Terutama lewat AUM, baik pendidikan maupun kesehatan.
Cerita yang kurang lebih sama juga pernah diungkap oleh Wakil Ketua Majelis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah, Prof Edy Suandi Hamid. Lewat website pribadinya, mantan rektor Universitas Islam Indonesia (UII) itu mengungkapkan pengalamannya menyampaikan orasi ilmiah dalam acara wisuda mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Muhammadiyah Jayapura. “Sebanyak 146 wisudawan, 126 orang atau 86,3 persen beragama Kristen/Katolik dan hanya 20 orang atau 13,7 persen wisudawan yang beragama Islam.”
Gambaran singkat sekolah Muhammadiyah di daerah non-Muslim itu setidaknya yang disinggung dalam buku panduan “Pedoman Hidup Islami bagi Warga Muhammadiyah”. Dalam hubungan sosial yang lebih luas, setiap anggota Muhammadiyah haruslah menunjukkan sikap-sikap sosial yang didasarkan atas beberapa prinsip. Yaitu menjunjung tinggi nilai kehormatan manusia, memupuk persaudaraan dan kesatuan kemanusiaan, mewujudkan kerjasama umat manusia menuju masyarakat sejahtera lahir-batin, memupuk jiwa toleransi, dan menghormati kebebasan orang.
Inilah yang disebut dalam dokumen “Pernyataan Pikiran Satu Abad Muhammadiyah” bahwa Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia di muka bumi. (iqbal paradis dan arkoun abqaraya)