PWMU.CO – Beberapa hari ini kita dihebohkan dengan suguhan head line pemberitaan di berbagai media masa, tentang kasus tindak asusila. Tidak hanya terjadi satu kali. Namun berkali-kali. Mirisnya lagi, kekerasan seksual ini menimpa anak dibawah umur.
Salah satu kasus diantaranya, kasus menimpa siswi SMP di Kalibokor, Surabaya. Dia menjadi korban tindak asusila yang dilakukan oleh pelaku, tidak lain merupakan teman sebaya di lingkungan tempat dia tinggal. Yang menjadi catatan tersendiri adalah kasus tersebut terjadi tidak hanya sekali. Tetapi siswi SMP tersebut menjadi korban tindak asusila sejak berusia 6 tahun. Hingga kini dia berusia 13 tahun. Bahkan diberitakan salah satu koran, korban sampai kecanduan untuk berbuat asusila.
Atas maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak ini, banyak kalangan manaruh prihatin. Bahkan sebagian kalangan mengutuk perbuatan tersebut. Muncul wacana hukuman mati bagi pelaku pedofil tersebut. Hingga, kembali menyeruak hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak ini. Sampai-sampai gagasan pentingnya pendidikan seks bagi siswa dan harus dimasukan dalam kurikulum pendidikan, muncul kembali.
Menanggapi hal itu, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Muhammad Sholihin menggungkapkan ada beberapa aspek yang menyebabkan itu terjadi. Di antaranya lemahnya pengawasan dari lingkungan sekitar. Terutama pengawasan dari keluarga. Sehingga kasus itu bisa terjadi.
”Dengan dalih apapun, keluarga maupun lingkungan sekitar, seharusnya mampu untuk mencegah hal itu terjadi. Ini bentuk lemah dan pudarnya fungsi kontrol dari masyarakat dan juga keluarga. Mereka cenderung individualis dan apatis terhadap kondisi lingkungannya. Ini harus dibenahi,” kata Sholihin.
Lebih lanjut mantan Kepala SD Muhammadiyah 4 Pucang ini menerangkan, faktor lain, yang juga menjadi sorotan adalah lemahnya penanaman nilai-nilai moralitas kepada anak. Sehingga anak tidak memiliki batasan dan filter terhadap yang dilakukannya. Benar atau salahnya. Bahkan pendidikan seolah tak berdaya mencegah maraknya kasus ini. Faktor terbaru yang sangat memberi dampak, yakni faktor kemajauan teknologi.
Menurut Sholihin untuk mencegah maraknya kasus asusila ini, maka pentingnya penanaman nilai-nilai agama. Karena moralitas agama adalah benteng terakhir untuk mencegah maraknya tindak asusila ini. Karena itu, Sholihin menggugah kepada guru-guru pendidikan Agama di sekolah–sekolah. Baik negeri maupun swasta, untuk lebih menekankan pada aspek penanaman nilai-nilai agama.
“Guru agama tidak sekedar memberi ceramah. Tetapi harus siap menjadi pendamping dan tempat konsultasi siswa,” paparnya.
Sholihin sepakat dengan hukuman berat kepada pelaku kasus kekerasan seksual terhadap anak ini. “Hukuman berat bagi pelaku kekerasan seksual, khususnya terhadap anak tetap diperlukan. Karena itu untuk memberikan efek jera bagi pelaku-pelakunya. Namun yang terpenting, yang harus juga dilakukan adalah aspek pencegahannya. Agar kasus serupa tidak terulang lagi,” kata Shlolihin.
Sholihin dengan tegas menolak pendidikan seks masuk dalam kurikulum sekolah. Karena hal itu dinilai akan menambah marak tindak asusila. ”Dengan pendidikan agama dan penanaman nilai-nilai agama sudah cukup,” tegasnya. (aan)