PWMU.CO – Trauma politik yang melanda sebagian besar warga Kota Malang. Trauma dipicu oleh penetapan tersangka korupsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang jilid kedua. Jumlahnya 22 orang. Ditambah dengan penetapan Jilid 1 KPK, total ada 41 dari 45 dari anggota legislatif hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 yang ditetapkan sebagai tersangka suap dan gratifikasi.
Penetapan massal tersangka korupsi ini ini tidak hanya menjadi pukulan bagi para tersangka dan keluarga besarnya. Tapi juga bagi segenap warga Kota Malang. Nyatanya, korupsi politik bukan lagi fenomena baru saat ini. Perilaku korupsi politik pada dasarnya merupakan abuse of public trusted for private gain atau erat kaitannya dengan kepentingan melelangkan kekuasaan.
Tak bisa dipungkiri, memang ada pejabat publik yang menggunakan jabatannya untuk bersekongkol dengan pemilik modal atau sesama politisi dalam rangka memperluas skup kekuasaan. Dalam hal ini, pendanaan politik dipakai dari hasil korupsi dan jual beli kekuasaan, sebagaimana fakta yang terpaparkan di persidangan.
Tidak sedikit warga di berbagai sudut kota, mulai pedagang kaki lima hingga pegawai- pegawai kompak mengunjing topik yang sama. Rerata menyesalkan kejadian ini. Tidak banyak yang langsung percaya begitu saja sehingga ikut memvonis bahwa mereka yang sudah digiring KPK memang koruptor.
Tetapi ada yang berbahaya terkait ‘budaya permisif dan pembiaran’ yang muncul dari masyarakat. Argumen yang dikemukakan, penetapan tersangka korupsi itu ‘hanya menunggu giliran’. Seakan tidak ada beban, bahkan terkesan biasa saja, karena begitu seringnya informasi terkait korupsi. Ada pula yang menghela nafas panjang seakan mengikuti serial drama dengan alur cerita yang panjang.
Ada juga yang melihat peristiwa ini bukan sebagai kejahatan yang sebenarnya. Mereka percaya adanya skenario kejahatan , atau para aktornya ini belum tentu manusia yang jahat (praduga tak bersalah).
Berbagai argumentasi yang muncul dari masyarakat itu menunjukkan bahwa masyarakat sudah cerdas. Kecerdasan ini seharusnya memberikan kesadaran bersama bagi siapa pun untuk tidak masuk lubang yang sama berulang-ulang. Sebab, masyarakat inilah yang riil melakukan penilaian sekaligus memberikan hukuman terhadap siapa saja menghambat bekerjanya meritokrasi untuk melahirkan birokrasi modern yang bersih.
Peristiwa ini merupakan waktu yang tepat bagi para petarung legislatif untuk bisa mendalami apa sebenarnya yang diharapkan dari masyarakat. Mengingat hampir semua para legislator ‘bermasalah’, hampir bisa dipastikan pemilu ke depan akan diisi oleh politisi-politisi baru.
Shock politik yang melanda masyarakat ini tentunya perlu mendapatkan perhatian khusus. Saatnya ada penyadaran akan pentingnya melakukan politik yang berakhlak dan menyentuh kebutuhan dasar publik. Yaitu kejujuran dan kepercayaan. Semoga!
Kolom ditulis Uzlifah, Ketua Majelis Pembinaan Kader Pimpinan Daerah Aisyiyah Kota Malang.