
PWMU.CO – Seorang penulis itu seperti pemburu dalam hutan, saat menembak, kadang tak tahu apa yang terjadi akibat tembakannya.
“Mungkin ada hewan lain yang ikut terganggu, mungkin merusak bagian dahan pohon, atau bahkan salah sasaran.”
Hal ini ditegaskan Produser SBO TV Agus Fanany dalam Women Journalist Workshop, di Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Sabtu (15/9/18).
Saat menulis, lanjutnya, kita tidak tahu apa ada dampak yang timbul dari tulisan itu. Mungkin ada yang merasa tersinggung, dirugikan, atau bahkan berbahagia karena ikut dipromosikan.
“Dampak itu tak bisa dihindari, akan tetap ada. Tetapi tentu dampak positif yang kita inginkan. Karena itu membuat tulisan yang baik itu penting,” tutur Agus, sapaannya.
Dalam kegiatan yang diselenggarakan Departemen Komunikasi dan Informasi (Komin) Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) Jawa Timur itu, pria yang pernah menjadi Manajer Iklan SBO TV menjelaskan menulis berita yang manusiawi atau memiliki unsur human interest dapat mengajak emosional pembaca terlibat di dalamnya.
“Selain manusiawi, tulisan berita juga harus memperhatikan waktu atau timeliness. Kalau ada berita kebakaran sekarang, tulis sekarang. Jangan ditulis tiga hari lagi. Itu nanti jadi berita hoax. Ini yang dimaksud timeliness,” ujarnya.
Agus menyebutkan berita yang terpercaya (trusted) sangat diutamakan oleh pembaca. “Jangan memasukkan pendapat kita sendiri sebagai penulis dalam berita kita. Harus sesuai fakta,” terangnya.
Dan jangan lupa, sambung dia, isi berita yang kita tulis harus mewakili khalayak atau penting. Kutip pernyataan tokoh yang berpengaruh di masyarakat,” tegas pria yang berpengalaman sebagai Manajer Iklan Tabloid Gugat ini.
Dia melanjutkan, kedekatan (proximity) lokasi terjadinya peristiwa dengan khalayak juga menimbulkan ketertarikan pembaca terhadap tulisan berita.
“Selain itu, berita yang melibatkan populasi yang besar biasanya akan menjadi berita yang paling banyak dibaca. Misal tsunami Aceh mengakibatkan ribuan orang meninggal, ratusan bangunan hancur, dan sebagainya,” jelasnya.

Pria yang pernah menjadi jurnalis di Tabloid Posmo tahun 2003 hingga 2006 ini juga mengungkapkan menulis berita hendaknya memperhatikan stakeholder yang terkait dengan isi berita.
“Kalau kita menulis tentang pendidikan, ya jangan Ketua RT yang diwawancarai. Usahakan menemui tokoh dari Dinas Pendidikan. Untuk menjadi jurnalis hebat, cobalah menulis berita yang tak biasa atau unusualness. Kalau anjing nggigit orang kan biasa, coba kalau orang nggigit anjing,” ucapnya diikuti gelak tawa peserta.
Di hadapan 32 peserta yang merupakan perwakilan Departemen Komin Nasyiatul Aisyiyah (Nasyiah) se-Jawa Timur, Agus berpendapat, berita faktual menjadi poin penting yang harus dipegang teguh oleh jurnalis.
“Jadi nulis berita jangan mengarang. Siapkan data-data valid yang terjadi di lapangan. Coba juga membuat tulisan konflik agar skill jurnalisme kita terasah. Berita konflik itu melibatkan dua pihak yang saling beradu kekuatan baik fisik maupun komunikasi verbal,” pesannya.
Menurut pria yang mengawali karir jurnalistiknya di Koran Harian Karya Darma tahun 1990 itu, tema kegiatan yang berbunyi “Satu Berita, Sejuta Perubahan” ini sesuai dengan tujuan sebuah berita diterbitkan.
“Nulis berita itu yang ada dampaknya di masyarakat. Itu menunjukkan sejuta perubahan. Jadilah jurnalis yang selalu punya berita eksklusif, berita yang punya angle yang berbeda dengan berita yang lain,” pesannya.
Karena itu, dia melanjutkan, belajarlah menulis ragam berita yang baik. “Jadi wartawan itu kebanggaannya dari tulisannya. Apakah dibaca banyak orang atau tidak. Bukan dari kepleknya,” ujar Agus disambut riuh tawa dan tepukan peserta. (Ria Eka Lestari)