PWMU.CO – Saat ini sedang berlangsung Annual Meeting 2018 yang digelar IMF (International Monetary Fund atau Dana Moneter Internasional) dan Word Bank Group di Bali, Indonesia, Senin-Ahad (8-14/10/2018).
IMF demikian akrab bagi Indonesia terutama sejak terjadi krisis moneter tahun 1997. IMF kemudian dikaitkan dengan berakhirnya rezim Orde Baru yang kokoh sejak 1967 hingga Orde Reformasi 1998. Pada awal Orde Baru Indonesia dibantu IMF sebagai advisor untuk pulih dari krisis ekonomi 1965-1966.
Setelah mengalami inflasi sekitar 600 persen pada tahun 1965-1966 perlahan kehidupan ekonomi masyarakat berangsur membaik. Puncak rehabilitasi ekonomi terjadi setelah pergantian kepemimpinan nasional tahun 1967.
Pada tahun 1968 APBN baru dapat diseimbangkan menggunakan prinsip anggaran belanja berimbang. Inflasi berangsur-angsur turun menjadi 85 persen pada 1968 berlanjut tinggal 9,9 persen pada 1969.
Ekonomi Orde Baru menjadi makin “perkasa” dan “meroket” dengan hadirnya rezeki minyak tahun 1969-1981. Harga ekspor minyak bumi yang meningkat 4 kali hingga 8 kali lipat memungkinkan pemerintah Orde Baru memperluas program-program pembangunan.
Selain rezeki minyak, ekonomi Orde Baru ditandai dengan makin dibukanya modal asing dalam bentuk investasi dan utang. Bisa jadi kebijakan utang luar negeri yang demikian berani atas dasar saran IMF.
PT. Freeport Indonesia yang akhir-akhir ini sering bikin “heboh” pada setiap perpanjangan kontraknya, pertama kali masuk Papua pada tahun 1967 di awal Orde Baru. Periode 1967-1997 selama 30 tahun dikenang sebagai periode “emas” ekonomi Indonesia.
Tidak sedikit orang Indonesia yang lahir dan menikmati masa itu, rindu kembali pada masa Orde Baru. Seluruh kebijakan Orde Baru semakin diyakini sebagai “berkah” ekonomi dan politik Indonesia.
Tanpa terasa kemudian pada tahun 1997 terjadi angin perubahan ekonomi dunia. Krisis moneter di Korea dan Thailand lambat laun merembet ke Malaysia dan Indonesia. Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika yang sebelumnya pada kisaran Rp 2.500-an menjadi sekitar Rp17.000-an pada 1998.
Krisis moneter berujung pada krisis ekonomi dan politik yang ditandai dengan pergantian kepemimpinan nasional. Gelombang reformasi yang dimotori Prof Dr Amien Rais MA beserta segenap aktivis pro demokrasi membawa perubahan baru dalam tata kelola ekonomi dan politik nasional.
Ekonomi Orde Baru yang demikian “perkasa” selama 30 tahun ternyata tidak mampu mengantisipasi arus keuangan global—sebuah wabah ekonomi yang diyakini sebagai “wabah” ekonomi baru.
Terbukti gerakan reformasi yang berhasil melakukan pergantian kepemimpinan nasional berhasil pula memulihkan ekonomi nasional. Presiden BJ Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto secara bertahap berhasil menurunkan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika menjadi Rp 6000-an pada tahun 1999.
Presiden BJ Habibie tetap berhubungan dengan IMF, dengan penggunaan skala prioritas yang jelas terhadap pinjaman dari IMF. Bantuan IMF baik tidaknya sangat bergantung pada kemampuan pemerintah menggunakannya.
Selanjutnya era baru politik multipartai hingga saat ini belum menghasilkan “lompatan” besar yang berarti dalam bidang ekonomi sebagaimana masa Orde Baru. Gerakan reformasi yang menumbangkan Orde Baru bukan biang keladi krisis ekonomi pasca-Orde Baru.
Ketidakkonsistenan pada agenda reformasi adalah biang keladi utama krisis ekonomi dan politik saat ini. Jargon anti-KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang kencang diteriakkan aktivis gerakan reformasi lambat laun “redup” pascapemulihan ekonomi dan politik oleh Presiden BJ Habibie.
KKN kembali marak dan cenderung telah akrab dengan perilaku partai politik dan birokrasi. Putusan Mahkamah Agung yang mengizinkan bekas napi korupror boleh nyaleg menjadi bukti bahwa agenda reformasi telah dilupakan.
Keseriusan memberantas KKN sampai ke akar-akarnya belum seheroik Orde Baru memberantas ideologi komunis.
Pertemuan tahunan IMF di Bali perlu dicermati sejauh mana dampaknya bagi ekonomi Indonesia, termasuk agenda politik 2019.
Harapan semua pihak, agar pemerintah tidak menambah utang lagi pada IMF sehingga menambah beban lagi bagi anak cucu bangsa. Hal itu sama seperti keadaan ekonomi Indonesia sedang sakit dan dalam parawatan jalan IMF?
High economic and politics Muhammadiyah harus kembali hadir secara aktif sebagaimana keterlibatan Kokam tahun 1965 dan Amien Rais cs tahun 1998.
Biidznillah Muhammadiyah mampu menjadi kompas penunjuk arah politik dan ekonomi bangsa. Wallahualam bishshawab. (*)
Kolom oleh Prima Mari Kristanto, Penulis buku Nabung Saham Syariahdan Auditor di Kantor Akuntan Publik Erfan & Rakhmawan Surabaya.