PWMU.CO – Setelah KH Ahmad Dahlan menjadi tuan rumah Kongres Boedi Oetomo pada pertengahan Maret 1917, banyak dampak positif yang dirasakan Muhammadiyah. Dampak eksternal yang paling terasa adalah perkembangan Muhammadiyah yang semakin massif ke luar daerah Yogyakarta. Sebab, setelah Kongres yang juga diisi ceramah agama oleh Kyai Dahlan itu, semakin banyak daerah yang mengundangnya untuk memberikan pengajian ke perbagai tempat.
Adapun secara internal, terutama para murid-murid Kyai Dahlan, Kongres menjadikan mereka terpacu melakukan inovasi dalam bertabligh. “Inovasi” otentik ini penting ditekankan karena mereka memikirkan dan mendiskusikannya justru tanpa harus diperintah Kyai Dahlan.
“Apakah sesungguhnya KHA. Dahlan dengan condong menerima sidang tahunan Boedi Oetomo di sekolahannya, itu tidak seorangpun mengetahui maksudnya. Karena memang tidak terbuka wajarnya,” begitu tulis M. Syoedja’ tentang sikap Kyai Dahlan sebelum Kongres.
Tidak diberi “pesan khusus” dan hanya diminta untuk berdiam di lokasi Kongres, membuat para murid Kyai Dahlan ini pun harus menebak-nebak sendiri. Mereka pun berkumpul di rumah M. Syoedja’ Kauman untuk melakukan rapat “bawah tanah” ini. Selain Syoedja’, mereka yang hadir adalah Fachruddin, M. Tamimuddari, M. Ahmad Badar, dan M. Zaini Hasyim.
“Betapa indah dan eloknya seumpama agama Islam itu dapat diterangkan di muka orang banyak dan umum sebagaimana cara yang dilakukan oleh Boedi Oetomo,” begitulah hasil rapat tersebut. Beberapa hal teknis pun juga dibicarakan. Seperti penataan “pengajian umum” hingga bahasa yang digunakan adalah bahasa setempat. “Tentu akan lancar tersiarnya dan lebih mudah pula dapat dimengerti dan difahami oleh khalayak ramai.”.
Cetusan itu menjelmakan suatu perkumpulan (pengajian) yang diberi nama “Malam Djoem’ah”. Lima murid ini pun urunan untuk membeli satu podium dengan desain tubuh bawah (kaki) pembicara tidak kelihatan. “Kalau-kalau ada kejadian kakinya pembicara gemetar karena kewibawaan orang banyak, supaya tidak dapat kelihatan,” begitu maksud dari bentuk podium itu.
Dalam tempo singkat, pada malam Jum’ah perkumpulan itu dimulai membuka penyiarannya Agama Islam pada tiap-tiap malam Jum’ah seterusnya. Sejak pertama kali diselenggarakan, acara ini mendapat sambutan yang memuaskan dari warga Kauman. “Teristimewa umum boleh mengajukan apa yang kurang dimengerti dan pembicara akan memberi penjelasan seperlunya.”
Sejak saat itulah, tabligh berbentuk pengajian umum mulai membahana di Kauman dan sekitarnya. Para muballigh Muhammadiyah dalam hari-hari tertentu sesuai dengan jadwal mendatangi satu kampung ke kampung lain untuk memberikan pengajian umum. Tentu saja dengan bahasa masyarakat. Sebuah pembaruan dalam cara menyampaikan ajaran agama.
Terkait dengan “bahasa” sebagai alat penyampaian ajaran Islam ini memang menjadi trademade Muhammadiyah. Tidak terkecuali mengawali perubahan “bahasa” khutbah Jum’at maupun Idul Fitri-Adha. Jika sebelumnya “harus” memakai bahasa Arab yang jarang bisa dipahami jamaah, kini khutbah yang menggunakan bahasa Indonesia maupun lokal menjadi “lumrah”.
Sudah tentu banyak jalan berliku yang dilalui hingga pembaruan ini terwujud, meski dalam catatan sejarah ternyata Muhammadiyah juga lumayan miskin dalam dokumentasi dinamika pembaruan ini. Catatan mengharu-birukan yang ditemukan pwmu.co justru jauh setelah Muhammadiyah berdiri. Tepatnya dalam dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 21 Tahun XI, edisi Dzulhijjah 1348 H-31 Maret 1930. selanjutnya halaman 2….