PWMU.CO – Setelah babak pencoblosan pemilu 17 April lalu, putaran politik Indonesia bukan melambat layaknya putaran roda yang direm karena sudah mendekati finis, tetapi malah cenderung tambah cepat seolah sedang melakukan gerakan sentripetal yang lebih jauh dan curam menuju desintegrasi bangsa.
Jika pada masa kampanye isunya terpecah-pecah seperti beban ekonomi rakyat, infrastruktur, utang luar negeri yang membubung, larangan tahlilan, khilafah vs Pancasila, janji palsu, pendidikan agama dihapus di sekolah dan sebagainya, sekarang isunya hanya satu yaitu kecurangan dalam pilpres.
Dari isu kecurangan ini persolannya kemudian mengkait pada soal kematian lebih 300 petugas KPPS dan petugas lain yang dianggap tidak wajar. Lantas dipanasi dengan isu people power. Pengkonsentrasian Brimob di Jakarta seolah mengantisipasi akan ada kerusuhan besar-besar di ibu kota.
Lantaran isunya cuma satu yaitu kecurangan—terlepas benar apa tidak—maka seluruh kekuatan yang dimiliki diarahkan untuk pada satu titik head on. Jika di olah raga, ini bukan tinju di mana pukulan bisa mengarah ke banyak sasaran. Tetapi ini sudah olah raga berik atau adu kepala. Semua kekuatan, fokus penyerangan maupun pertahanan ada di kepala bagian atas.
Proses sosial seolah memuara pada pecahnya perang total, Amargedon, Baratayuda. Finisnya cuma satu: Indonesia hancur berkeping-keping layaknya perahu kaca pecah. Tidak ada pemenang maupun yang kalah. Intinya: kalah jadi abu menang jadi arang.
“Ambillah Hastinapura. Aku rela karena aku sudah cukup menikmatinya. Sekarang kamu yang mewarisi Hastina yang sudah hancur. Kamu harus menyantuni juatan anak yatim dan janda,” kata Duryudana, Raja Hastina yang kalah, menjelang matinya kepada Bima yang menang.
Juga isu kecurangan ini yang menjadi pemantik konflik di Venezuela sampai sekarang sehingga menempatkan negara di Amerika Selatan itu di ambang perpecahan. Rakyatnya menderita lahir batin.
Jika hal ini semakin berlarut-larut, Pilpres 2019 berpotensi bukan menjadi starting point untuk membangun Indonesia lima tahun ke depan, tetapi akan menjadi pemantik kehancuran Indonesia seperti tulisan PW Singer dan Ausgust Cole dalam novel fiksi ilmiah mereka yang terkenal, Ghost Fleet. Dalam novel itu dituliskan bahwa setelah tahun 2030 nama Indonesia tidak disebut lagi. Berarti bubar senasib dengan Uni Soviet dan Yugoslavia. Keduanya berkeping-keping menjadi banyak negara.
Banyak yang percaya bahwa novel yang ditulis mantan inteljen dan wartawan senior ini bukan sekadar fiksi. Tetapi didasarkan pada data dan informasi yang kuat. Fiksi hanya gaya penulisannya. Di dunia Barat sudah biasa sebuah peritiwa politik, intrik inteljen dituangkan dalam bentuk fiksi seperti Danzig karya William N Walker.
“Trilogi Perusak”
Belajar dari kasus paling aktual yaitu Venezuela, faktor potensi disintegrasi dari dalam negeri sangat kecil. Ibarat hanya semacam api di sumbu ublik yang kecil upilan dan mendrip-mendrip (nyalanya sangat kecil). Tapi kemudian diperbesar dengan sumbu besar yang basah oleh minyak sehingga langsung berkobar-kobar. Sumbu basah itu disulutkan oleh konspirasi global “Trilogi Perusak”.
“Trilogi Perusak” ini pula yang diduga sangat kuat berada di belakang Arab Spring yang menghancurkan Irak, Libya, Tunisia, Mesir, Al Jazair, Yaman, Syuriah. Juga yang meremukkan Afghanistan. Konspirasi ini memberikan opsi kepada negara-negara sasarannya: dibubarkan atau mau menjadi bonekanya.
Operasi “Trilogi Perusak” ini bukan hanya di kawasan Arab dan Afrika Utara, tetapi juga terus berkembang ke seluruh dunia. Karena tujuan akhirnya, kata sejarawan Amerika Serikat Dr Jack Otto, membentuk New World Order (NWO) tata dunia baru di bawah kuasanya. Hal senada disampaikan pakar eskatologi Islam Syiekh Imran Hosein, guru besar Universitas Karachi, Pakistan.
Mereka bermimpi untuk menguasai dunia seperti imperium zaman dulu. Misalnya Kaisar Cirus dari Persia yang menguasai dua benua. Byzantium atau Romwani Kuno yang menguasai sekitar separuh dunia. Jengkhis Khan yang menguasai sepertiga dunia. Turki Usmani yang wilayahnya hampir tiga benua.
Bahkan ingin seperti Raja Zulkarnen yang kekuasaannya meliputi timur sampai barat. Bahkan boleh dibilang jiwa kelompok NWO ini ingin membalas dendam terhadap seluruh pendukung atau pengikut Zulkarnaen dari barat sampai timur karena telah mengurung leluhur mereka dengan memasang tembok dari cairan besi dan tembaga, yaitu Yakjuj dan Makjud.
Mereka ini, kata Imran Hosein, adalah keturunan bangsa Yakjuj dan Makjud memiliki keturunan yang berdiam di Kerajaan Kazzaria. Kemudian disebut bangsa Kazzar. Bangsa ini aslinya menganut paham kafir atau paganisme. Untuk tujuan politik mereka lantas memeluk agama Yudaisme atau Yahudi.
Jack Otto mengatakan, Kazzaria akhirnya seperti lenyap dari muka bumi karena diserang Raja Tsar dari Kerajaan Rus atau Rusia. Mereka mengalami diaspora ke pelbagai negara. Lantas mereka menyebut dirinya Yahudi Eropa. Ada juga yang menyebut Yahudi ke-13 karena bukan Yahudi keturunan Nabi Ya’kub yang punya anak 12 orang. Jumlah Yahudi Eropa ini kini merupakan 92 persen populasi penduduk Israel.
Dalam rangka membalas dendam terhadap pengikut Zulkarnen, mereka bertiwikrama dengan menjadi “Trilogi Perusak”. Sebuah tiwikrama yang merunut pada kesejaharan Mesir kuno yang juga berkuasa di dunia. Trilogi Perusak itu adalah Firaun, Qarun, dan Bal’am.
Merunut pada pemikiran Dr Ali Shariati dalam bukunya Haji, Firaun adalah subyek atau simbol politik despotisme, penindasan. Qorun adalah simbol ekonomi kapitalisme, keserakahan absolut. Bal’am adalah simbol kemunafikan.
Dalam menjalankan politik despotisme Firaun memiliki kaki tangan yaitu militer, polisi, inteljen, preman dan lain-lain. Mereka semuanya adalah alat kekerasan. Seorang despotis atau rejim otoriter bisa saja dipilih melalui proses demokrasi seperti pemilu. Tetapi setelah berkuasa tidak menjadi pemimpin yang demokratis tapi memerintah secara otoriter dan menindas.
Dalam menjalankan kapitalisme serakahnya, Qorun memiliki kaki tangan yaitu rentenir, lembaga keuangan bank maupun non bank, lembaga monopoli dan oligopoli. Bursa saham dan sebagainya. Mereka mengatur dan memainkan sistem moneter dunia seringan memutar piringan kasino.
Mereka ini yang digambarkan oleh Rasulullah SAW, seadainya sudah diberi satu sungai berisi emas mereka akan meminta dua sungai. Jika sudah diberi dua sungai akan meminta tiga sungai dan seterusnya. Mereka baru berhenti ketika mulutnya disumbat dengan tanah. Seperti Qorun yang selesai karena dirinya dan seluruh hartanya ditenggelamkan ke dalam tanah oleh Allah. Orang-orang kaya yang bersikap seperti Qorun inilah yang menyebabkan Allah menghacurkan suatu bangsa (Alquran Surah Al Isra ayat 16).
Bal’am adalah sosok manusia super cerdas. Jika di pewayangan adalah Sengkuni. “Tidak ada manusia yang cerdas melebihi Sengkuni. Tapi sangat disayangkan kecerdasannya bukan untuk kemaslahatan manusia tetapi untuk berbuat kerusakan,”kata risna dalam Mahabarata.
Bal’am intelektual sekaligus ulama. Ilmuwan sekaligus teknokrat. Dalam menjalankan kemunafikannya, Bal’am memiliki kaki tangan. Misalnya, ulama suu atau ulama jahat. Yaitu ulama yang menjadikan agama sebagai barang dagangan yang dijual kepada penguasa untuk kepentingan sendiri maupun golongannya. Intelektual tukang yaitu yang menggunakan kecerdasannya untuk dijual demi mengeruk keuntungan material semata.
Ada dukun-dukun sihir sampai tukang klenik. Ada juga buzzer adalah mereka yang mencari uang dengan memaki-maki, menyebar hoax. Mereka telah ditulis di Alquran surah Alhumazah. Mereka adalah calon penghuni nereka khutamah.
Kaki tangan Bal’am ini melakukan agitasi propaganda. Cuci otak terhadap rakyat. Melakukan penipuan dan kebohongan. Karena kecerdasannya, strategi dan taktik Bal’am sangat sulit diketahui.
Mencegah kerusakan
“Trilogi Perusak” ini menjadi segitiga sama sisi yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya dibingkai dalam garis kebohongan, kepalsuan, penipuan. Ketiganya akan mengembangkan tipuan bahwa mereka adalah juru selamat dunia, tetapi niscayanya adalah kebalikannya. Merekalah juru rusak dunia.
“Trilogi Perusak” ini telah menggejala di setiap tingkatan kehidupan bermasyarakat, baik global, regional, nasional, maupun lokal. Dalam melakukan operasinya mereka sangat cepat layaknya bongkahan batu yang digelundungkan dari puncak bukit yang curam.
Mereka mengusung fitnah yang tiada tara. Hanya manusia yang berlindung kepada Allah saja yang selamat. Sampai-sampai setiap membaca tasahut akhir, umat Islam disuruh membaca. Allhumma inni audzubika min….. fitnatil masihid-dajjal.
“Trilogi Perusak” ini, menurut Ali Shariati, disimbolkan dengan jamarat atau tiga jumrah (tugu) di Mina. Yaitu jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah. Setiap jamaah haji wajib menembaknya dengan kerikil tauhid seraya memuji kebesaran Allah. Menembaknya pun tidak boleh cukup sekali tapi harus diulang sampai tiga kali. Karena mereka tiga yang satu atau satu yang tiga.
Melihat betapa dahsyatnya kekuatan yang mengancam desintegrasi Indonesia, maka tidak ada sikap yang lebih baik selain kembali kepada Allah. Jangan hanya karena sebuah jabatan bernama presiden sampai harus mengorbankan bangsa ini.
Mengorbankan nilai kejujuran, keadilan, dan kemaslahatan. Melupakan nilai keberkahan suatu jabatan. Padahal hanya jabatan yang diraih secara halal akan memberi keberkahan. Jabatan presiden itu nilainya tidak lebih baik daripada sholat qubla subuh yang cuma dua rakaat.
Karena kecurangan merupakan pintu besar terbenamnya Indonesia di perangkap konspirasi global “Trilogi Perusak”, maka seharusnya semua pihak mencegah jangan sampai ada kecurangan maupun tuduhan kecurangan.
Artinya jika memang melakukan kecurangan, hentikan sekarang juga dan kembalikan hak-hak yang dicurangi. Tapi jika tidak terjadi kecurangan maka hentikan sekarang juga melontarkan tuduhan adanya kecurangan. Kaidah ushul fiqihnya: dar’ul mafasid muqaddam ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan harus didulukan daripada berbuat kebaikan).
Menjadi presiden memang menjadi instrumen untuk membuat kebaikan, kemaslahatan bagi bangsa. Tetapi saat ini mencegah kerusakan bangsa itu harus didulukan. Gusti Allah nyuwun ngapura.
وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ
Walaa tufsiduu fii l-ardhi ba’da ishlaahihaa wad’uuhu khawfan wathama’an inna rahmata laahi qariibun mina lmuhsiniin
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Al A’raf ayat 56). (*)
Kolom oleh Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo.