PWMU.CO – Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno, dikenal sebagai sosok Muslim yang cukup militan. Bahkan salah satu kritiknya terhadap pola keagamaan Islam Indonesia begitu cukup terkenal hingga kekinian. Yaitu Islam sontoloyo, sebuah umat yang dalam kesehariannya tidak bisa bertanggung jawab, dan selalu mencari kesalahan orang lain.
Kenangan yang lebih mendalam lebih dirasakan warga Muhammadiyah karena Bung Karno tercatat sebagai salah satu anggota dan perintis kemajuan Muhammadiyah di Bengkulu. “Saya menjadi anggota resmi Muhammadiyah dalam tahun 1938,” katanya dalam amanat Muktamar Setengah Abad Muhammadiyah 1962. Bahkan beberapa potongan pidatonya yang menggebu-gebu menjadi “penyemangat” ber-Muhammadiyah. Seperti “Sekali Muhammadiyah Tetap Muhammadiyah” dan “Makin Lama Makin Cinta”.
Meski tergolong “kawakan” dalam ber-Islam, Bung Karno ternyata tidak meraihnya dengan serta-merta. Keber-Islamannya justru dicapai dengan jalan berliku, dari yang sekedar “Islam KTP” hingga mengantarkannya sebagai sosok yang yakin pada agamanya. Dalam amanat yang disampaikan pada tanggal 23 April 1948 di Masjid Besar Surakarta, Bung Karno menceritakan perjalanan jiwanya dari Islam karena keturunan dan masyarakat, menjadi seorang Muslim yang yakin akan kebenaran agamanya.
“Sebab maklum, Saudara-saudara, moga-moga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi rahmat-berkat kepada Ibu saya, moga-moga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi rahmat-berkat kepada Bapak saya —,kedua-duanya, Saudarasaudara, Ibu adalah, meskipun ber-Agama Islam, berasal daripada agama lain, orang Bali; Bapak, meskipun ber-Agama Islam, beliau adalah beragama –jikalau boleh dinamakan agama– Theosofie,” urai Bung Karno tentang kondisi agama keluarganya di depan peserta Muktamar Muhammadiyah 1962.
“Jadi kedua orangtua saya ini – yang saya cintai dengan segenap jiwa saya – sebenarnya tidak dapat memberi pengajaran kepada saya tentang Agama Islam. Ibu bekas agama Bali, Bapak penganut agama Theosofie,” lanjutnya tentang “kehampaan” pengajaran agama Islam dalam keluarganya.
Barulah pada tahun 1916-an, Soekarno mulai mengenal “lebih” ajaran Islam melalui tabligh yang dilakukan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, di Surabaya. “Dalam suasana yang remang-remang itu datanglah Kiai Ahmad Dahlan di Surabaya dan memberi tabligh mengenai Islam. Bagi saya (tabligh) itu berisi regeneration dan rejuvenation daripada Islam,” kata Soekarno.
Pencerahan Islam bung Karno semakin mendalam ketika memasuki tahun 1929. “Di kala tahun 1929, saya dipenjara, dimasukkan ke dalam sel yang berlapis empat pagar dinding gelap, ya gelap, kecuali ada sinar yang datang dari celah-celah jendela yang kecil. Di malam hari, saya lihat bintang gemerlapan di atas langit. Terbitlah air mataku, teringat saya kepada Dzat yang membuat semesta alam ini. Titikan air mataku, menembus dalam jiwaku. Di sinilah pertama kali jiwaku insyaf akan agama. Hatiku berhasrat sekali mempelajari agama, dengan membaca berbagai kitab-kitab agama yang tipis-tipis itu, yang diterbitkan oleh Perhimpunan-perhimpunan Islam.”
Tetesan ilham Ilahy yang kedua kali dirasakan Bung Karno ketika dia kembali ditangkap dan diasingkan oleh penjajah Belanda. “… yakni di kala saya dibuang ke Banda Neira di Flores. Jumlah penduduk di sana ada 800.000 orang. Hampir semuanya penyembah berhala, takut kepada pohon dan batu. Inilah sebabnya maka jiwa dan pikiran kami Iebih yakin bahwa Agama Islam adalah agama yang wajib dipeluk oleh setiap orang, karena ia dapat memimpin kesopanan serta memperhalus masyarakat dan memusnahkan kekafiran.”
Fase ketiga yang membuat Bung Karno yakin tentang kebenaran agama Islam terjadi pada 1938, ketika dia bergabung secara resmi sebagai anggota Muhammadiyah. “Tetesan Ilahy yang ketiga kepadaku hingga meresap dalam jiwa se-insjaf-insyafnya, ialah di kala tempat pembuangan saya dari Flores telah dipindahkan ke Bengkulen (Bengkulu). Di sanalah terwujud masyarakat Islam yang benar-benar. Keinsyafan saya bertambah-tambah, sehingga saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa agama Islam adalah agama yang haq, agama yang benar, agama yang saja cintai serta sayalah pembela Islam.”
Di Bengkulu, Bung Karno yang memang berpendidikan tinggi dipercaya sebagai ketua Majelis Pendidikan dan Pengajaran (sekarang Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah). Dengan senang hati, dia menaiki sepeda onthelnya memberikan pengajaran pada siswa/ siswi Madrasah Muhammadiyah di Kebun Roos.
Delapan tahun sejak resmi menjadi anggota Muhammadiyah, tepatnya tahun 1946, Bung Karno meminta agar Muhammadiyah tidak memecat keanggotaannya dari Muhammadiyah. Sebab, pada tahun-tahun itu perbedaan paham politik memang cukup tajam. Meski semuanya punya tujuan yang sama, yaitu mengisi Indonesia yang baru merdeka secara bermartabat.
Ketika sebagian besar tokoh Muhammadiyah bergabung dalam Partai Masyumi, Soekarno bersama tokoh Muhammadiyah lain seperti Roeslan Abdul Gani dan Mulyadi Djoyo Martono justru bergabung di Partai Nasional Indonesia (PNI). Seperti kata Bung Karno, sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, meski berbeda pandangan politik. (iqbal paradis alhaedar)