PWMU.CO – Kisah pasukan gajah menyerang Kakbah terjadi beberapa puluh tahun setelah kasus pembantaian penganut ajaran tauhid Nabi Isa di Najran oleh penguasa Himyar Dzu Nuwas dari Yaman.
Orang-orang Najran akhirnya dibantu pasukan Abesinia atau Habasyah dari Afrika untuk menggulingkan kekuasaan Dzu Nuwas. Tapi sejak itu Najran, Himyar dan wilayah Yaman menjadi bagian kekuasaan Abesinia.
Kerajaan Abesinia adalah penganut Kristen. Berawal dari sinilah orang-orang Najran yang awalnya penganut Nabi Isa lantas terpengaruh ajaran Trinitas.
Wali negeri atau gubernur Yaman dari Abesinia yang pertama adalah Aryath. Dialah komandan pasukan yang membantu orang Najran mengusir Raja Himyar Dzu Nuwas. Aryath kemudian dibunuh oleh Abraha, wakilnya, yang berambisi berkuasa di Yaman.
Di zaman Abraha inilah terjadi penyerangan ke Kakbah Mekkah sekitar tahun 571 M. Ada ribuan tentara yang bergabung. Di antaranya peleton pasukan gajah.
Ada orang mempertanyakan darimana gajah-gajah pasukan ini padahal jazirah Arab tak ada gajah? Abraha adalah penguasa dari Abesinia, Ethiopia. Tentu saja gajah-gajah yang dilatih berperang ini didatangkan dari Afrika. Menjadi pasukan elite yang gagah dan megah. Abraha memang menyukai kemegahan.
Abraha Membangun Gereja Megah
Salah satu bangunan megah yang dibangun Abraha di ibukota Shan’a adalah gereja. Dalam buku Sirah Ibnu Hisyam diterangkan, Abraha menulis surat kepada Najasyi, raja Abesinia. ”Paduka raja, untukmu aku telah membangun gereja megah yang belum pernah dibangun untuk raja sebelummu. Aku tidak berhenti membangun hingga berhasil mengalihkan haji orang-orang Arab kepadanya.”
Orang-orang Arab pra Islam sudah melakukan tradisi ritual haji yang diwarisi dari zaman Nabi Ibrahim dan Ismail. Kemudian ritual haji itu bercampur paham pagan syirik ketika Amr bin Luai, pemelihara Baitullah zaman itu, meletakkan berhala Dewi Rembulan Hubal di Kakbah yang dia peroleh dari Syam. Kelakuan Amr bin Luai lantas ditiru kabilah-kabilah lain yang juga punya berhala. Akhirnya Kakbah dikitari bermacam berhala.
Tradisi haji di Mekkah ini yang diiri Abraha sehingga kota kecil di pelosok gurun itu menjadi ramai setiap tahun dikunjungi peziarah. Maka dia membangun baitullah baru di pusat kota Shan’a yang diharapkan menjadi kota suci yang dikunjungi peziarah.
Namun keinginan Abraha ini tidak selalu didukung masyarakat jazirah Arab. Lebih-lebih orang Mekkah. Salah satunya yang paling iseng dan nekat seseorang dari Bani Fuqaim bin Adi yang disebut al-Kinani. Dia orang Mekkah yang saat itu berdagang ke Yaman.
Mendengar rencana Abraha, al-Kinani tak suka. Menjelang kepulangannya, dia menuju gedung kebanggaan Abraha dan buang air besar di situ. Setelah itu dia bergabung dengan kafilahnya kembali ke Mekkah.
Ketika pejabat negara tahu ada kotoran di gereja langsung melapor ke Abraha. ”Siapa pelakunya?” tanya Abraha.
”Pelakunya orang Arab warga sekitar Baitullah di Mekkah. Dia mendengar ucapanmu yang akan mengalihkan haji orang-orang Arab ke gerejamu. Orang itu marah dan berak di situ. Artinya bangunanmu itu tidak layak dijadikan tempat haji,” jawab pejabat itu.
Abraha marah dan bersumpah akan menyerang Mekkah dan menghancurkan Kakbah. Maka berangkatlah bala tentaranya termasuk peleton pasukan gajah yang dia pimpin. Kisah pasukan gajah menyerang Mekkah ini terdengar se antero negeri Yaman dan Arab.
Pasukan Gajah Dihadang
Tidak semua orang Yaman setuju dengan penyerangan ini. Salah satunya kabilah dari Dzu Nafr. Dia mengajak kaumnya untuk menghadang pasukan gajah Abraha. Terjadilah pertempuran. Tapi Dzu Nafr kalah. Waktu hendak dihukum mati dia minta pengampunan dan bersedia bergabung menjadi penunjuk jalan.
Perjalanan sampai di daerah Khats’am, pasukan Abraha dihadang Nufail bin Habib al-Khats’ami dengan kekuatan kabilah Syahran, Nahis, dan kabilah lainnya. Namun tentara gabungan ini dapat dipukul mundur pasukan Abraha.
Ketika Nufail hendak dibunuh, dia minta pengampunan. Akhirnya dia bersedia bergabung dan setia kepada Abraha menjadi penunjuk jalan ketika tahu kisah pasukan gajah menuju Mekkah.
Iringan pasukan yang makin besar ini tiba di Thaif. Di kota ini pasukan Thaif melawan dipimpin Mas’ud bin Mua’attib bersama kabilah Tsaqif. Tapi perlawanan ini dengan mudah ditaklukkan Abraha. Orang-orang Thaif akhirnya menyatakan tunduk setia dan bergabung. Kabilah ini mengutus Abu Righal menjadi pemandu jalan.
Sampai di al-Mughammis lembah Muhassir, Abraha mengirim pasukan berkuda asli Abesinia pimpinan al-Aswad bin Maqsud memasuki Mekkah lebih dulu memeriksa kondisinya. Tiba di kota itu pasukan al-Aswad merampas harta orang Mekkah termasuk 200 ekor unta milik Abdul Muththalib, penjaga Kakbah.
Sekelompok kecil orang Quraisy ingin melawan pasukan berkuda ini. Karena kalah jumlah akhirnya mereka mundur.
Bertemu Abdul Muththalib
Kemudian Abraha mengutus juru bicara Hanathah al-Himyari untuk bertemu pemimpin Quraisy, Abdul Muttthalib.
Hanathah menjelaskan, kenapa pasukan gajah datang untuk menghancurkan Kakbah. Jika penduduk Mekkah tidak menghalangi maka selamat mereka. Abdul Muththalib mengatakan, penduduk Mekkah tak ada kekuatan melawan. Dia pasrahkan Kakbah kepada perlindungan Allah.
Abdul Mutthalib kemudian dibawa menemui Abraha di posko tendanya di al-Mughammis didampingi anaknya dan pemimpin kabilah lainnya. Abraha menemuinya dengan penghormatan sebagai pemimpin kota Mekkah. Abdul Muththalib lalu berkata, ”Kepentinganku terhadap tuan adalah agar mengembalikan 200 ekor untaku yang telah dirampas pasukan tuan,” kata Abdul Muththalib.
Abraha kaget mendengar permintaan ini. Lewat penerjemahnya dia berkata,”Sebenarnya aku kagum melihatmu. Tapi ternyata kamu hanya bicara 200 unta yang kurampas darimu. Padahal aku datang hendak menghancurkan rumah dari agamamu, agama nenek moyangmu. Kamu tak sedikit pun menyinggungnya.”
Abdul Muththalib menjawab,”Sesungguhnya aku adalah pemilik unta. Rumah itu mempunyai pemilik yang akan melindunginya.”
Abraha menukas,”Dia tidak layak menghalang-halangiku.”
Abdul Muththalib menegaskan,”Itu terserah antara tuan denganNya.”
Abdul Muththalib mendapatkan untanya lantas pulang bersama pendampingnya. Sampai di Mekkah dia umumkan agar semua penduduk keluar berlindung ke bukit agar aman dari serangan pasukan yang bakal datang.
Abdul Muththalib Pasrahkan Kakbah ke PemilikNya
Kemudian dia bersama pemimpin Quraisy menuju Kakbah dan berdoa sambil memegang rantai pintu Kakbah. ”Ya Allah, sesungguhnya seorang hambah telah melindungi pelananya maka lindungi rumahMu. Ya Tuhan, salib mereka tidak akan mengalahkanMu besok pagi karena hanya Engkau Yang Mahakuat. Jika Engkau membiarkan mereka dan kiblat kami maka itu karena sesuatu yang telah Engkau inginkan.”
Esok hari pasukan Abraha yang naik di atas gajah bernama Mahmud memimpin pasukan sudah mendekati Mekkah. Tiba-tiba gajah Abraha mogok berjalan lantas duduk. Tentu saja ini membuat panik Abraha dan pawangnya. Pasukannya juga berhenti.
Gajah itu dipukuli agar berdiri tetap tak mau. Setelah dicucuk perutnya bahkan diiris kulitnya, baru gajah-gajah berdiri tapi balik arah menuju Yaman. Ketika digiring ke arah Mekkah, gajah itu duduk lagi.
Untuk peristiwa ini Ibnu Hisyam bercerita, saat gajah Mahmud disiapkan berangkat, diam-diam Nufail bin Habib al-Kats’ami yang menjadi tawanan mendekati gajah itu. Dia membisikkan mantra ke telinganya, ”Duduklah atau pulanglah karena sesungguhnya kamu berada di tanah haram.” Kemudian Nufail lari bersembunyi ke gunung.
Di tengah kekacauan atas ulah gajah ini tiba-tiba datanglah burung berbondong-bondong. Seperti burung camar atau balsan dari arah laut. Burung-burung itu menjatuhkan kerikil sebesar kacang dan adas. Saat kerikil-kerikil mengenai tubuh pasukan langsung tewas meleleh seperti diceritakan dalam surat al-Fiil.
Para tentara lari kocar-kacir menyelamatkan diri kembali pulang atau mencari perlindungan ke bukit. Sebagian besar tentara mati, hanya sedikit yang selamat. Abraha yang sudah mati dengan tubuh penuh luka dibawa pulang ke ibukota Shan’a.
Begitulah kisah pasukan gajah menyerang Kakbah. Menurut riwayat Ibnu Ishaq yang dikutip Ibnu Hisyam menceritakan, tanah bekas peristiwa itu untuk pertama kalinya berubah menjadi padang kerikil. Kemudian ditumbuhi pohon-pohon pahit seperti harmal, handzal dan usyar. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto