Didi Kempot, Donald Trump, Jokowi tulisan opini Dhimam Abror Djuraid mengulas kekuatan kata tanpa makna dalam dunia seni dan politik.
PWMU.CO-Cendol dawet, cendol dawet, seger, cendol dawet dawet, cendol cendol, dawet dawet, cendol cendol dawet dawet, cendol dawet seger piro, lima ngatusan, gak pake ketan, jiro lupat monem pitu wolu…
Apa arti deretan bait dalam syair lagu Pamer Bojo yang dinyanyikan Didi Kempot itu? Kayaknya tidak ada, tidak nyambung. Pamer bojo tidak ada hubungan dengan dawet dan cendol lima ratusan perak.
Tapi bait-bait itu menimbulkan histeria massa, viral luar biasa. Jutaan orang menghafalkannya, orang tua, anak-anak muda, milenial, dan anak-anak kecil antusias menyanyikannya, tak peduli mengerti bahasa Jawa atau tidak.
Kata-kata tanpa makna justru menjadi soundbyte yang kuat dan menjadi mantra yang membuat jutaan orang tersihir.
Kata Improvisasi
Pada sebuah konser, penyanyi Al Jerrau lupa sederet bait lagu yang dinyanyikannya. Ia berimprovisasi cepat dengan bersenandung …dadidudadiduuuudaaaa.. untuk mengganti syair yang dia lupa. Alih-alih mencemooh, penonton malah histeris menyambut improvisasi itu.
Sejak itu “gaya lupa” itu menjadi tren baru di blantika musik jazz dan ditiru penyanyi jazz di seluruh dunia. Mulai dari George Benson di Amerika sampai Mus Mujiono, arek Kedung Turi, Surabaya.
Terkadang kata-kata tak bermakna malah bermakna lebih dalam. Message lebih kuat, dan lebih banyak dibincangkan dan diinterpretasikan orang. ”…‘cause you know sometimes words have two meaning,” kata Led Zeppelin dalam Stairway to Heaven.
Mungkin si pengujar tidak menyadari apa yang diucapkannya, atau malah dia tidak mengerti. Tapi sekali ujaran itu meluncur maka si pengujar tak bisa lagi mengontrolnya, dan publik bebas menginterpretasikannya.
Coba, apa hubungan pamer bojo sama cendol dawet. Atau, apa beda cendol sama dawet. Sulit dijawab. Sama dengan pertanyaan apa beda mudik sama pulang kampung. Mudik itu mudik, pulang kampung ya pulang ke kampung. Dalam hal bermain-main kata-kata, Didi Kempot dan Jokowi yang sama-sama priyantun Solo, terbukti piawai.
Omongan Ngawur Trump
Virus Corona, Covid 19, atau Virus China? Donald Trump tidak peduli. Ia tetap menyebut pagebluk ini sebagai Virus China dan tak mengindahkan protes dari China dan dari banyak kalangan. Trump lebih sibuk dengan blame game, menyalahkan pihak lain, daripada fokus menuntaskan wabah ini.
Trump, dengan konyol mengusulkan warga Amerika untuk menyuntikkan deterjen atau bahan pemutih ke tubuh supaya kebal virus. Ia cuek saja ketika diprotes dan diserang oleh kelompok-kelompok profesional yang mengatakan usulan itu berbahaya dan menyesatkan.
Dalam suasana menjelang pilpres di Amerika seperti sekarang pernyataan-pernyataan menggelikan seperti itu jamak terjadi. Jokowi pernah menyuruh rakyat Indonesia berdagang racun kalajengking kalau mau cepat kaya.
Wapres Amerika, Mike Pence, dikecam keras secara luas karena tidak memakai masker saat berkunjung ke sebuah rumah sakit. Ia menjawab kritik dengan santai. Ia mengaku sehat dan bugar, dan karenanya tidak perlu memakai masker karena tidak akan tertular atau menulari.
Persoalannya adalah sang wapres memberi sinyal yang salah dan membingungkan publik. Di satu sisi rakyat harus pakai masker, di sisi lain seorang pejabat tinggi berkeliaran tanpa masker. Di satu sisi rakyat tidak boleh mudik, di sisi lain masih ada tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia.
Dalam komunikasi politik sering seseorang tidak harus mengutarakan apa yang dimaksudkannya, baik verbal maupun non-verbal. Mengangguk bukan berarti setuju, malah sebaliknya, bisa berarti tidak setuju.
Komunikasi Politik
Dalam budaya Jawa yang high context orang tidak selalu berterus terang dengan apa yang dimaksudkannya. Ada tembung sanepa, yang bisa berarti kebalikan, antonim, dari apa yang diucapkan. Ada guyon parikena, bercanda tapi serius.
Dalam situasi darurat seperti sekarang, komunikasi politik yang high context bisa menimbulkan ketidakpastian dan kebingungan. Keragu-raguan antara lockdown atau setengah lockdown menjadikan penanganan wabah menjadi tidak efektif.
Keraguan-raguan antara pertimbangan kepentingan ekonomi dengan menyelamatkan nyawa warga negara memunculkan public distrust, ketidakpercayaan publik, terhadap kepemimpinan nasional yang bisa berujung pada krisis yang lebih serius.
Donald Trump akan menghadapi pilpres November mendatang. Ia bertaruh waktu dengan jabatannya. Sebagai wakil Partai Republik ia lebih pro ekonomi dengan risiko menghadapi perlawanan rakyat yang terbelah dua antara pro ekonomi dan pro-nyawa. Masyarakat Amerika sekarang terbelah menjadi dua antara pro dan kontra lockdown. Pendukung Republik secara umum anti lockdown dan Demokrat pro lockdown.
Dengan jumlah korban meninggal tembus 50 ribu- dan diperkirakan akan melampaui jumlah korban Perang Vietnam, 58 ribu nyawa- nasib politik Trump di Pilpres 2020 banyak diragukan. Trump bekerja keras menghadapi wabah Covid 19 sambil tetap berusaha mempertahankan kepemimpinan global Amerika. Mudah-mudahan ia tidak menjadi tumbal politik Covid 19.
Didi Kempot telah memberi kontribusi positif bagi musik tradisional Indonesia di tengah gempuran musik global. Kita doakan Lord Didi husnul khatimah.
Jokowi sudah bekerja keras mengatasi krisis Covid-19 ini di tengah berbagai gempuran politik yang masif. Kita doakan juga karier politik Jokowi berakhir husnul khatimah. Amien. (*)
Editor Sugeng Purwanto