Ideologi Dahlaniyah Terselip di Muhammadiyah tulisan Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO-Jika diminta memilih mengikuti Prof Amien Rais, Buya Syafi’i Ma’arif, Prof Din Syamsuddin, atau Prof Haedar Nashir, saya lebih memilih Guru Agung Kiai Hadji Ahmad Dahlan dalam memikir dan menggerakkan Peryarikatan tanpa mengurangi rasa ta’zhim kepada keempatnya atau ulama lainnya yang telah berjasa.
Sebab semua kita adalah pengikut Kiai Ahmad Dahlan dalam hal pergerakan. Dengan kelebihan dan kekurangannya, saya tidak tahu mana di antara keempat Ketua Umum PP Muhammadiyah yang masih sugeng itu yang paling mendekati Kiai Ahmad Dahlan dan paling layak diikuti.
Ironis jika ideologi Dahlaniyah ditampik tapi berbalik mengembangkan ideologi baru yang sesuai dengan yang dimaui. Bukankah pergerakan ini adalah Persyarikatan. Federasi pemikiran, serikat ide, gagasan, dan amal.
Lantas apa ideologi Dahlaniyah itu? Jujur belum ada sama sekali kajian komprehensif tentang pemikiran dan gerakan Kiai Dahlan yang menggambarkan ideologinya secara utuh dan komprehensif. Saya tak tahu mengapa. Padahal berkumpul banyak orang pintar dan ahli riset yang berserak di berbagai pusat kajian di semua universitas. Kenapa belum ada ikhtiar membuat riset ideologi Dahlaniyah sebagai kredo?
Maaf bila saya berpikir dan menyangka yang tidak baik. Bagaimana kalau ini kesengajaan. Sengaja membenam ideologi Dahlaniyah dan menggantinya dengan ideologi baru yang sesuai dengan kehendak pimpinan dalam kurun tertentu.
Ideologi Dahlaniyah justru terhalang kalau tidak boleh dikatakan sengaja dibenam dalam riuh ideologi baru yang katanya modern tapi tidak baku.
Realitas macam ini menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan dengan ideologi sangat terbuka, sangat bergantung pada pimpinan yang pegang. Apakah menjadi modernis, puritan bahkan radikal, amat bergantung siapa yang menjadi pimpinan. Bersifat fluktuatif-relatif.
Conduct of Moral Organisasi
Tidak ada blueprint ideologis yang ditajdid sebagai conduct of moral yang mengikat. Dalam hal berorganisasi yang tersisa hanya Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga yang sudah mulai dianggap usang. Atau Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah atau Kepribadian Muhammadiyah yang sudah mulai ditinggalkan karena absurd ditelan usia. Karena tidak semua pimpinan di setiap level punya apalagi baca.
Lantas Kiai Ahmad Dahlan ada di mana? Darimana bisa belajar dan mengenal Kiai Dahlan dari dekat? Bila tidak bersungguh-sungguh nyantri kepadanya. Bagaimana bila ber-Muhammadiyah hanya karena kebetulan. Kebetulan bekerja sebagai karyawan di amal usaha Muhammadiyah atau kebetulan tidak suka selamatan karena memang pelit?
Mengatakan bahwa Dahlaniyah itu tidak perlu sambil mengagumi pendapat sendiri atau ulama lain juga ironis. Apalagi hanya berbekal jargon kembali kepada al-Quran dan as-Sunah. Bukankah Salafi-Wahabi juga punya jargon sama. Jadi apa yang membedakan?
Ideologi Dahlaniyah dan Muhammadiyah bukan setara. Tapi bagaimana jika ideologi Dahlaniyah diperankan sebagai conduct of moral dalam ber-Muhammadiyah? Tegasnya, Muhammadiyah itu nama Persyarikatan sedang Dahlaniyah adalah ideologinya.
Hal ini penting untuk menjaga harmoni pemikiran ideologis, mengingat makin riuhnya tantangan dan kompetisi atas berbagai ideologi dan manhaj di Muhammadiyah pada abad atau 100 tahun ke dua. Jadi? (*)
Editor Sugeng Purwanto