Kepada Tuhan: Aku, Saya, atau Kami? Kolom ditulis oleh Bekti Sawiji, Mahasiswa S3 Universitas Negeri Islam (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
PWMU.CO – Begitu membaca tulisan Mohammad Nurfatoni berjudul Tuhan: Ia, Dia, atau Beliau? saya langsung tertarik untuk menelaah sampai selesai.
Benar saja, tulisan itu sangat bagus. Dan saya memeroleh apa yang saya inginkan yaitu pembahasan yang padat tetapi cukup mengena tentang penggunaan kata ganti Tuhan.
Namun demikian, setelah selesai membaca saya bertanya-tanya akankah dia menulis juga tentang kata ganti orang pertama yang relasinya dengan Tuhan. Kalau benar berarti ada kesamaan hasrat.
Tanpa bermaksud mendahului, saya ingin memaparkan sedikit tentang penggunaan kata ‘saya’, ‘aku’, dan ‘kami’, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya.
Salah Kaprah Kami
Sering kita mendengar orang berbicara (bukan menulis) menggunakan kata ganti ‘kami’ secara tidak tepat. Misalnya, dalam sebuah rapat seorang peserta mengatakan, “Kami ingin mendapatkan penjelasan mengenai hal ini dengan rinci”.
Dalam KBBI online, lema ‘kami’ adalah pronomina (kata ganti orang) yaitu yang berbicara bersama dengan orang lain (tidak termasuk yang diajak berbicara).
Nah dalam kasus peserta rapat tadi, dia sebenarnya tidak mewakili siapa-siapa dalam rapat itu. Dengan kata lain dia hanya merujuk kepada dirinya sendiri.
Hal ini memang sering kita jumpai di forum-forum resmi seserorang menyebut dirinya sendiri sebagai ‘kami’. Sampai-sampai saya ingin menyimpulkan dan mengusulkan kepada KBBI agar lema ‘kami’ diberi tambahan definisi yaitu “yang berbicara (walaupun tidak bersama dengan orang lain dan tidak termasuk yang diajak bicara) dalam forum-forum resmi”.
Jadi semestinya orang tadi mengatakan, “Saya ingin mendapatkan penjelasan mengenai hal ini dengan rinci.” Karena dalam KBBI kata saya adalah kata ganti orang yang diartikan sebagai orang yang berbicara atau menulis (dalam ragam resmi atau biasa)
Berdoa, Kami, Saya, atau Aku?
‘Kesalahan’ semacam ini juga kadang terbawa juga saat manusia berhubungan dengan Tuhan. Komunikasi manusia dengan Tuhan terjadi saat seseorang itu beribadah atau berdoa.
Dalam doa manusia sering menyebutkan keinginannya dan menyebut-nyebut dirinya di hadapan Tuhan. Saya pun sering mengalami kesalahan dalam mengucapkan doa baik setelah salat berjamaah di masjid, di rumah, atau shalat sendiri.
Kadang saya berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami!”. Padahal, saat itu saya sedang berdoa sendiri dan untuk diri saya sendiri.
Seharusnya saya berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa saya!” Mengapa kata ‘saya’ yang lebih tepat? Karena selain kita tidak bersama dengan orang lain, objek doa yaitu “dosa” itu sangatlah personal, sehingga dosa saya lebih tepat dari pada dosa kami.
Kata ‘kami’ dalam doa-doa kita dapat digunakan ketika kita berjamaah, misalnya selepas shalat berjamaah dengan keluarga. Saat itu bolehlah kita mengucapkan, ”Ya Allah ampunilah dosa kami, dosa orang tua kami!”
Imam shalat sebagai wakil dirinya dan jamaah berkomunikasi dengan Tuhan menggunakan kata ‘kami’ mengingat jamaah yang sedang bersama kita pastilah punya dosa, dan orang tua mereka pun demikian.
Jika imam menggunakan kata ‘saya’ dalam doa tersebut maka akan terasa janggal, karena jamaah tidak sedang membaca doa melainkan mengaminkan saja.
Kemudian, apakah kata kami hanya digunakan ketika kita berdoa secara berjamaah? Tidak juga. Sebenarnya saat sendirian kita dapat menyebutkan kata ‘kami’ jika doa itu dimaksudkan untuk mewakili orang lain juga.
Ketidakhadiran orang lain di dekat kita juga tidak menjadi masalah. Misalnya doa, “Ya Allah jadikanlah keluarga kami sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah!”
Atau, “Ya Allah mudahkanlah kami melunasi utang-utang kami!” dapat diucapkan saat kita sendirian. Mengapa? Karena saat berdoa, kita bermaksud merujuk juga kepada orang-orang lain selain kita. Utang misalnya, itu adalah utang berdua antara suami dan istri. Dengan kata lain saat kita berdoa sendirian, di sana akan banyak perpaduan kata ‘saya’ dan ‘kami’ sesuai dengan konteks isi doa kita.
Bagaimanakah dengan kata ‘aku’? Bolehkah kita ber-‘aku-Engkau’ dengan Tuhan, Allah SWT. Sangat bisa. Saya setuju dengan Nurfatoni yang mengatakan bahwa menyebut Allah dengan kata ganti “Engkau” atau “Dia” (bukan Beliau) itu lebih memiliki kedekatan spiritual.
Kedekatan atau keakraban spiritual dengan Tuhan ini yang menjadikan kata ‘aku’ sebagai alternatif kata ‘saya’ karena kata ‘aku’ tergolong ragam akrab.
Dengan demikian kita bisa berdoa, “Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui. Bimbinglah aku ke jalan yang Engkau ridhai!” Tetapi, meskipun perlu keakraban spiritual dengan Tuhan, saya sangat tidak merekomendasikan penggunaan “lu-gue” karena kata “lu” dan “gue” meskipun ragam akrab dan bersinonim dengan “aku-Engkau” ini tergolong pronomina untuk bahasa percakapan yang tidak resmi.
Jangankan dengan Tuhan, dengan guru atau orang-orang yang kita hormati saja tidak pantas kita ber “lu-gue”
Hamba sebagai Alternatif
Selain kata ‘saya’, ‘aku’, dan ‘kami’, kita masih ada satu kata lagi yang bisa kita gunakan untuk menyebut diri kita sendiri di hadapan Tuhan. Kata itu adalah ‘hamba’. KBBI mengartikan kata ‘hamba’ sebagai saya (untuk merendahkan diri) dan jenis kata ini termasuk kata klasik.
Kalau kita telaah lebih mendalam, justru kata inilah yang paling tepat digunakan untuk merujuk diri sendiri saat bedoa kepada Tuhan. Kata ‘hamba’ memang besinonim dengan kata-kata tadi yaitu ‘saya’ dan ‘aku’. Tetapi perlu diingat bahwa sesungguhnya tidak ada dua kata yang bersinonim memiliki arti yang benar-benar sama.
Kata ‘hamba’ memiliki rasa bahasa yang jauh berbeda. Ketika kita mengatakan ‘hamba’ maka segera diketahui di mana posisi kita. Kita berada pada posisi jauh di bawah lawan bicara kita dalam strata sosial maupun strata spiritual.
Dalam strata sosial, kata ini dipakai ketika sesorang berbicara dengan raja, ratu, atau ponggawa kerajaan yang lain dan hal ini nyaris sudah tidak terpakai di kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Sedangkan untuk strata spiritual, kata ini justru lebih banyak digunakan. Bukankah kita memang sangat rendah di hadapan Allah SWT? Maka kata ‘hamba’ dalam doa, “Ya Allah, berilah hamba petunjuk!” lebih elok dibanding, “Ya Allah, berilah saya/aku petunjuk!”
Sungguh, seandainya ada lagi kata yang lebih rendah kastanya dari kata ‘hamba’ maka saya ingin menggunakan kata itu dalam doa-doa saya. (*)