Harlah NU, Ada Kisah Ukhuwah Islamiyah oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Lima tahun silam saya tawarkan kepada Gus Siradj (KH Hasyim Siradjudin), Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Batu, untuk memperingati Harlah NU di Masjid Gedhe Padhang Makhsyar tempat saya. Jawaban beliau sungguh menyenangkan. Tersenyum sambil menggenggam tanganku dan bilang, syukran, sambil matanya berkaca-kaca.
Dua tahun setelahnya saat Musyawarah Daerah Muhammadiyah Kota Batu, Gus Siradj adalah undangan yang pertama datang dan terakhir kali pulang. Kami juga naik kereta yang sama saat kirab bersama walikota dan Wawali, ketua DPRD, Kapolresta, ketua MUI, dan para ulama dari berbagai organisasi. Disaksikan puluhan ribu jamaah.
Setahun yang lalu hingga hari ini, bersama Kiai Abdullah Thahir, Ketua Syuriah Nahdlatul Ulama Kota Batu, bersama kami manggung di sebuah televisi untuk acara rutin Jendela Fatwa bakda Isya setiap malam Jumat. Kami bahas banyak hal. Bahkan soal-soal yang sangat tabu yang kerap menjadi pembeda dua ormas besar itu. Kami membincang santai dan saling menertawakan.
Entah berapa puluh kali Kiai Abdullah Thahir berkunjung ke rumah dan beberapa kali mengisi kajian. Entah berapa puluh yang sama, saya datang bertakdzim, makan tumpeng ingkung di ndalemnya. Saya kerap menanyakan beberapa hal yang kebetulan saya belum paham pun sebaliknya.
Pertalian saya dengan ulama-ulama NU di Kota Batu hampir merata. Saya biasa bertakzim dan berkunjung kepada Habib Jamal bin Thaha Baaqil, Kiai Munir Fathullah, Kiai Abu Said, dan Romo Kiai Nuryasin Muhtadi, guru dan sahabat ayahku.
Pun dengan Kiai Marzuqi Mustamar Nggasek, Gus Mus, Gus Baha’ bahkan keluarga istriku adalah kerabat ndalem Mbah Muslim Watucongol Muntilan. Dan ulama-ulama NU di kota lain.
Ulama Muhammadiyah
Tradisi ini juga saya lakukan di Persyarikatan. Kepada para ulama Muhammadiyah semisal Buya Syafi’i Maarif, Prof Imam Suprayogo, Prof Malik Fadjar dan dzuriyahnya untuk silaturahim. Bagiku di atas semuanya adalah ukhwah Islamiyah. Persaudaraan saling memberi hadiah meski sekadar oleh-oleh sarung BHS.
Bukankah para guru dan ulama-ulama panutan kita terdahulu lebih mengutamakan adab dan akhlak karimah daripada perbedaan dan kebanggaan atas simbol dan atribut. Di atas semuanya adalah ukhuwah Islamiyah. Sudah sebulan ini kami tidak bertemu. Saya kangen mencium tangannya.
Saya akan lakukan apa pun jika diperlukan agar suasana hati kembali damai. Agar tak ada lagi yang terluka atau panas hati karena sengkarut yang tak ada ujung pangkal.
Bagi saya Muhammadiyah dan NU adalah segalanya. Tempat saya bertakzim, tak ada kemampuan untuk mencela atau merendahkan hanya karena soal-soal furu’. Meski ada yang tak suka kalau keduanya rukun. (*)
Editor Sugeng Purwanto