Ada yang lebih HMI dari HMI oleh Yusran Darmawan, penulis dan aktivis. Tulisan ini refleksi Milad HMI ke-74, 5 Februari 2021.
PWMU.CO– Dulu, sahabat itu adalah seorang mahasiswa tipe kupu-kupu. Maksudnya, kuliah pulang lalu kuliah pulang. Yang dia pikirkan hanya menyelesaikan kuliah secepat-cepatnya. Yang dia pikirkan hanya menyelesaikan tugas dari dosennya. Memang sih, dia cukup pintar.
Pernah dia menyahuti ajakan seorang kawan untuk ikut pengkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tapi sebatas basic training. Itu pun dia tidak ikut semua materi. Baru tiga hari, dia sudah balik. Dia tak ingin ada hal-hal yang mengganggu dunia perkuliahan.
Sekian tahun berlalu, dia muncul di media sosial sebagai seorang politisi dan juga pengamat sosial. Dia pun dengan gagahnya memakai jas hijau yang tertera tulisan Korps Alumni HMI (KAHMI). Dia menuliskan nama HMI dengan agak tebal di berbagai CV yang dia bagikan. Bahkan dia paling aktif di kegiatan-kegiatan KAHMI.
Beberapa dekade setelah Lafran Pane mendirikan HMI, kini lembaga ini berkembang. Bahkan jauh lebih besar dari apa yang dia bayangkan. Dahulu, Lafran membayangkan ada himpunan yang bertujuan untuk ”terbinanya insan akademis yang bernapaskan Islam.”
Lafran tidak membayangkan kalau alumni HMI terus berjejaring, menguasai satu demi satu kekuatan politik hingga mulai mengaum di pentas nasional. Di berbagai partai politik, HMI membangun gerbong baru. Bahkan di kampus dan perguruan tinggi, para alumni HMI bisa berhimpun untuk menaikkan alumninya jadi rektor.
Kekuatan Politik
HMI menjadi satu kategori untuk berhimpun lalu berjuang untuk posisi politik dan kuasa. Jika tak punya sertifikat HMI, Anda tak punya password untuk bergabung dengan mereka. Bahkan biarpun Anda punya pemahaman Islam yang penuh nuansa kemodernan dan keindonesiaan ala Cak Nur, Anda juga bisa ditolak bergabung.
Kalau Anda masih ngotot untuk gabung, akan muncul pertanyaan: ”Tahun berapa Anda bastra?” Tak ada yang bertanya, sejauh mana Islam bisa dipahami sampai sumsum tulang-belulangnya, sejauh mana cahaya agama merasuk dan menembus semua relung-relung dan lorong di hatimu. Tak ada yang bertanya, apa yang Anda ketahui tentang upaya membumikan Islam di semua lini perjuangan.
Hari ini, HMI menjadi satu penanda dan kelas sosial baru. Orang-orang yang mau menjadi komisioner berbagai lembaga di bawah pemerintah akan sibuk gerilya dengan label HMI.
Mereka yang tidak pernah ber-HMI akan menyesal lalu mencari banyak celah biar menjadi alumni HMI. Bukan sekali dua kali saya mendengar ada politisi dan calon kepala daerah yang tiba-tiba saja mengaku HMI, entah bagaimana asal-muasalnya.
Bagi sebagian alumni HMI, tak penting juga asal-muasal itu. Selagi Anda bisa berkontribusi, maka Anda bisa saja diklaim sebagai HMI. Bahkan lebih HMI
Organisasi Alumni
Sekian dekade sejak Lafran mendirikan HMI, atau sekian tahun setelah berpulangnya Profesor Nurcholish Madjid, HMI tak lagi sendirian. Dulu, HMI adalah organisasi mahasiswa. Kini, para mahasiswa abadi dan para alumni yang paling sibuk ber-HMI.
Telah lahir satu organisasi baru bernama KAHMI yang lebih HMI dari HMI. Organisasi ini berisikan sejumlah alumni HMI yang gagal move on dari himpunan itu, serta punya kegiatan yang bersentuhan dengan politik. KAHMI menjadi organ baru yang lebih superior ketimbang HMI.
Dulu Lafran hanya membayangkan ada organisasi mahasiswa, sekali lagi mahasiswa, yang mengembangkan Islam melalui kajian-kajian mutakhir, serta menjadikannya spirit dalam semua aktivitas dan ruh perjuangan.
Kini, HMI hanya berisikan sejumlah anak muda yang masih hijau dan setia mengikuti arahan para senior KAHMI. Anggota HMI berada di bawah bayang-bayang para senior yang punya kekuatan kapital serta jejaring di lingkar kekuasaan.
Peta HMI sebelum dan pasca reformasi sungguh berbeda. Dahulu, HMI hanya berisikan sejumlah mahasiswa kampus yang kritis dan mengembangkan pemikiran Islam yang lebih modern dan mengindonesia melalui pengkaderan.
Di masa itu, organisasi berwarna hijau hitam itu bagai kerakap di atas batu. Amat susah menemukan donator dan sponsor yang mau membiayai kegiatan-kegiatan akademik di kampus dan luar kampus. Susah menemukan orang yang mau mengaku sebagai senior HMI sebab khawatir akan dimintai proposal kegiatan.
Kebanjiran Alumni
Kini, pasca-reformasi dan ruang-ruang politik mulai terbuka serta desentralisasi menjadi mantra baru yang mengubah lanskap politik lokal, HMI tiba-tiba saja kebanjiran senior.
Di mana-mana berdiri Graha Insan Cita serta sekretariat cabang. Di mana-mana Intermediate Training (LK 2 HMI) diadakan, dan selalu banjir duit karena disponsori pemerintah daerah.
Tidak lengkap seorang politisi jika tidak mengaku HMI. Pernah saya mendengar petinggi militer, pebisnis sukses, juga orang super kaya yang diklaim sebagai warga HMI kehormatan.
Jika ditanya apa kontribusi para alumni ini berhimpun, kita bingung bagaimana menjawabnya. Yang terekam di memori adalah jalan santai, pembangunan sekretariat, juga kumpul-kumpul demi membicarakan semua kepala daerah yang akan diusung.
Padahal yang perlu didiskusikan adalah peran sejarah serta kontribusi HMI bagi peradaban. Sebab HMI bukan organisasi yang menjadi rental gerakan bagi para alumninya. Bukan pula organisasi yang identik dengan aksi-aksi jalanan. Bahkan bukan pula organisasi yang memberi akses bagi alumni muda untuk melingkar ke Bang Akbar, Bang Anies, Bang Mahfud, atau Bang Jokowi.
Panggilan Perjuangan
HMI harus menjadi kekuatan perubahan yang berdiri di tengah rakyat yang tertindas dan menjadi korban kebijakan pembangunan. HMI harus kembali berdiri di garis yang pernah dilalui Munir, mantan Ketua HMI Cabang Malang, yang berani menggugat negara dan menelanjangi perilaku korup dan kekerasan para elite-nya.
HMI harus menjawab panggilan sejarah untuk tetap berada di garis perjuangan dan membumikan Islam yang inklusif, berkemajuan, serta me-Nusantara. HMI harus tetap di jalur kultural, menjadi suara mahasiswa yang rindu perubahan, serta menjadi kerikil di sepatu penguasa korup.
”Ah, gak penting itu. Yang kita lakukan adalah berhimpun lalu merebut semua kekuatan politik. Kalau semua sudah kelar, baru kita masuk ke tema-tema itu Kubiayai kau!” kata sahabat itu sembari merapikan krah jas KAHMI yang sempat terlipat. Dia bergegas menuju acara perayaan ulang tahun HMI.
Saya hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Dalam hati saya menggumam: ”Yakin usaha sampai.”
Editor Sugeng Purwanto