Tasawuf ala Muhammadiyah oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Benarkah Muhammadiyah talak tiga terhadap tasawuf? Seperti mencari jarum hitam di tengah malam gelap gulita, misal yang tepat menggambarkan betapa susahnya menemukan benang struktur formal tradisi tasawuf di kalangan ulama-ulama persyarikatan.
Tapi benarkah Muhammadiyah hanya membatasi diri pada urusan fikih yang kemudian disimbolkan dengan perilaku puritan dan jargon kembali kepada al-Quran dan as-sunah. Ada yang menyebut bahwa Manhaj Muhammadiyah tak ramah dengan tasawuf.
Tak sedikit yang menyebut bid’ah, khurafat yang harus dibuang jauh. Sebab itu pula konten putusan Majelis Tarjih hanya berkisar pada urusan akidah, fikih dan sedikit muamalah. Tak ada ruang untuk tasawuf.
Paradoks, meski tidak dilembagakan, perilaku tasawuf justru sangat kental di kalangan ulama-ulama persyarikatan. Bahkan lebih substantif, membentuk sikap dan perilaku sebagian besar ulama. Tidak membenam diri dalam riuh ritual formal sebagaimana lazimnya.
Perilaku tasawuf tidak disimbolkan dalam bentuk dzikir atau struktur mursid suluk atau wirid, surban menjuntai dan jumlah pengikut tapi lebih merujuk pada perilaku tasawuf atau prilaku kesufian otentik.
Otentisitas perilaku kesufian inilah yang hendak saya kabarkan, yang mewujud dalam bentuk konseptual Ma’rifat ‘ala minhajil Muhammadiyah. Kajian ini sama sekali tidak membincang berapa lama duduk saat wirid atau sebesar apa tasbih yang ia putar atau karamah yang didapatkan. Tapi fokus pada ikhtiar mencandra dari buah tasawuf yang melembaga dalam perilaku kesufian otentik para ulama Persyarikatan.
Makrifat adalah cahaya yang dilemparkan pada hati sang sufi, tutur Dzunnun Al Mishri. Saya belum ada keberanian memberi takrif: apakah ini yang disebut Tasawuf Ihsan seperti digagas Ki Bagus Hadikoesoemo.
Indikator Kesufian
Realitasnya, indikator kesufian semisal, zuhud, wara, raja’, mahabbah, menjadi bagian tak terpisah dari kehidupan para ulama persyarikatan seperti KH Abdur Razaq Fakhruddin yang biasa disebut Pak AR dan Buya Syafii Maarif. Keduanya adalah pribadi kesufian otentik ulama di Muhammadiyah dengan tidak bermaksud menafikkan yang lain.
Meski menyandang nama besar, tidak menghalangi keduanya hidup bersahaja sebagaimana ulama lainnya di persyarikatan. Pak AR tetap jualan bensin eceran, mengendarai motor Yamaha butut dan tinggal di rumah kontrakan.
Ini semua yang bikin Prof Mitsuo Nakamura, pengamat sosial dari Negeri Sakura Jepang keheranan. Pun dengan Buya Syafii Maarif, tidak canggung belanja di warung sebelah, pergi sendirian tanpa pengawalan dan memenuhi kebutuhan hidup sendiri tanpa seorang pembantu.
Tiga kali bertakdzim. Orang Nogotirto, kampung di mana dia tinggal, menjawab sama: bila beliau ada di rumah, beliau akan shalat berjamaah di masjid. Di masjid itu pula semua tamu ditemui. Pikiran-pikiran besar Buya jauh melampaui generasi sebaya dan setelahnya. Tak jarang beliau menerima amuk dari kader sendiri yang kebetulan belum paham. Sesuatu yang amat lumrah bagi sebagian besar ulama diperlakukan umatnya.
Kesahajaan ini menghampiri semua ulama-ulama di persyarikatan. Tanpa pesantren dan santri meski menyandang gelar ulama. Sesuatu yang amat kental terlihat dalam tradisi kesufian di Muhammadiyah. Karena sikap zuhud ini pula tidak satupun ada keinginan memiliki aset yang jumlahnya puluhan triliun. Padahal sangat bisa, kalau mau.
Para ulama itu hidup zuhud dan wara. Mereka sudah selesai dengan urusan dunia. Pikiran terbaik, tenaga terbaik, waktu terbaik dan harta terbaik diwakafkan untuk persyarikatan. Para ulama di Muhammadiyah sudah selesai dengan urusan dirinya sehingga tidak menjadi urusan bagi jamaah dan pengikutnya.
Kiai Bedjo Dermoleksono misalnya, wakafkan semua hartanya untuk persyarikatan Malang tanpa sisa. Kemudian istrinya tinggal di rumah yang dipinjami dari pimpinan Muhammadiyah dekat Masjid Al Khairat Dinoyo Kota Malang, tempat saya lima tahun menjadi marbot.
Pesan Kiai Dahlan
Hidup-hidupilah Muhammadiyah jangan mencari hidup di Muhammadiyah bisa juga dimaknai mencari penghidupan yang baik dan halal di luar, kemudian dipakai untuk menghidupi Muhammadiyah.
Jangan kau tawarkan jiwamu karena jika sudah dikehendaki kamu akan mati tapi beranikah kau berikan harta bendamu untuk kepentingan agamamu.
Itu dua pesan Kiai Ahmad Dahlan diawal berdirinya Muhammadiyah dibuktikan dengan menjual semua harta bendanya untuk membiayai sekolah yang didirikan saat kesulitan likuiditas.
Ma’rifat ‘ala minhajil Muhammadiyah Kiai Dahlan adalah keteladanan kepada seluruh muridnya untuk makrifat, mengenal dan memahami ruh dan spirit pergerakan ini secara kaffah. Bukan semacam kawanan pekerja yang mencari sesuap makan di berbagai Amal Usaha Muhammadiyah yang terus menagih untuk mendapatkan, tapi susah memberi.
Sebaliknya semua amal usaha: baik universitas, rumah sakit, bait amal dan lainnya adalah wasilah dakwah bukan tujuan. Manhaj inilah yang benar yang harus terus ditransformasikan kepada semua aktivis pergerakan. Menjaga spirit dan ghirah di tengah gempuran ideologi transnasional- tarbiyah dan liberal-sekular yang terus menghimpit.
Editor Sugeng Purwanto