Balada Spiker Masjid oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar.
PWMU.CO– Imam Ad Darimi meriwayatkan cukup eksotik tentang suara gemuruh dari arah masjid adalah salah satu ciri umat Rasulullah saw di akhir zaman: semoga riwayat ini tidak didhaifkan karena merugikan kelompok tertentu.
Mereka memuji Allah subhanahu wa ta’ala baik dalam keadaan senang atau susah, mereka selalu mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam setiap kemenangan, mereka membasuh anggota wudhu mereka, mengenakan kain sarung pada bagian tengah mereka.
Mereka berbaris dalam shalat seperti berbarisnya mereka dalam peperangan, suara mereka di masjid-masjid seperti gemuruh suara lebah, terdengar suara muadzin mereka di angkasa.
Apa yang tersisa dari hari raya? Gemuruh tarhim di spiker diheningkan. Mercon dan kembang api ditasyabuhkan. Bedhug dan takbir keliling dibid’ahkan. Ketupat lontong dikafirkan. Halal bihalal disesatkan. Baju baru dimubazirkan karena dianggap pemborosan. Galak gampil disesatkan karena tidak ada contoh dari Nabi saw. Bahkan mudikpun dianggap budaya pagan yang harus enyah.
Saya bukan pengagung suara Toa, mesin pengeras suara buatan Jerman itu. Terpenting spiker itu tidak dipolitisisasi apalagi sampai diberi cap identitas manhaj tertentu sebagaimana warna merah, kuning, biru, dan baju kotak-kotak.
Dunia terasa kian sempit karena banyak aturan dan larangan yang dilembagakan. Mesin spiker masjid hilang. Menara pun melemah. Juga bedhug— bahkan mungkin adzan suatu saat bisa hilang karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Sebagian merasa sangat terganggu dengan suara berisik dari arah masjid. Tak dipungkiri di antara kita ada banyak macam di dalam menikmati ritual. Ada yang beranggapan bahwa khusyuk hanya bisa dicapai dalam hening, meski saat hening juga tak ada jaminan tidak mikir yang lain.
Sebagian yang lain menganggap sebagai syiar agar masjid tidak sepi seperti kuburan, meski kemudian tak mengenal waktu dan melahirkan suara berisik yang amat sangat.
Apapun mengandung risiko. Mematikan spiker dan membatasinya juga bukan tak mengandung masalah. Mengeraskan suara dengan tidak mengenal waktu juga banyak masalah.
Dalam kitab Shifat Shalat Nabi karya Syaikh Nasiruddin al-Albani dikisahkan: Saat sidak kepada dua sahabatnya yang sedang shalat malam, Rasulullah saw berkata: ”Wahai Umar pelankan sedikit suaramu, kemudian kepada Abu Bakar, Rasulullah saw bersabda: ”Wahai Abu Bakar keraskan sedikit suaramu.”
Sayang sekali tidak ada rekaman yang bisa dijadikan rujukan sekeras apa suara Umar dan sepelan apa suara Abu Bakar.
Pada akhirnya, memang kita harus kompromi, bukan saling menyalahkan apalagi bertengkar untuk urusan teknis, senyumin saja. Balada spiker masjid selalu muncul jelang Ramadhan. Tahun ini makin seru karena ada gonggongan anjing dari menteri agama (*)
Editor Sugeng Purwanto