PWMU.CO – Ada istilah menarik tentang kondisi keilmuan masyarakat Muslim Indonesia yang dikemukakan oleh Prof Din Syamsuddin. Fikih dan Fikib, dua istilah yang disebut oleh Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) RI dalam Konsolidasi Organisasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Jelang Tanwir Muhammadiyah 2017, di Aula Mas Mansur Gedung PWM Jatim, Sabtu (11/2).
Istilah Fikih dan Fikib ini muncul ketika Din Syamsuddin bercerita tentang kondisi pendidikan umat Islam Indonesia pada tahun 1990-an. Sekolah-sekolah Islam ternyata sangat kuat dalam penguasaan maupun pengajaran ilmu-ilmu Islam, tapi kurang pada aspek lain. “Sekolah-sekolah Islam, khususnya sekolah-sekolah keagamaan itu kuat pada fikih, ilmu-ilmu keagamaan. Sekadar istilah, fikih,” terang Din.
(Berita terkait: Penjelasan Din Syamsuddin Kenapa Muhammadiyah Jarang Adakan Kegiatan Pengumpulan Massa)
“Tapi kurang pada Fikib, yaitu Fisika Kimia Biologi. Apalagi jika ditambah dengan MA atau Mafikib,” jelas Din menjelaskan istilah Fikib. Sementara yang dimaksud dengan “Ma” dalam istilah Mafikib adalah Matematika.
Melihat kondisi itu, berbagai langkah perbaikan dilakukan oleh umat Islam. Termasuk oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang saat itu baru didirikan. “Bahkan, saya pernah terlibat pada program ICMI untuk capacity building, penataran guru-guru FIKIB dari SMA-SMA Islam,” cerita Din.
(Baca juga: Din Syamsuddin: Jangan Ada Imam Lain di Muhammadiyah Selain Ketua Umum PP)
ICMI lantas mengadakan berbagai penataran khusus bagi guru-guru Fikib di sekolah-sekolah Islam. Terbagi dalam beberapa gelombang dengan ratusan peserta dalam setiap sesinya, para guru Sains sekolah Islam itu ditatar secara khusus.
“Bahkan Profesor Doktor Achmad Baiquni saat itu masih turun tangan,” jelas Din merujuk nama ahli nuklir dan fisikawan atom pertama di Indonesia yang sangat dihormati dalam jajaran ilmuwan fisika atom internasional.
(Baca: Optimisme Din Syamsuddin di Konsolidasi PW Muhammadiyah Jatim)
Penataran khusus ini, tambah Din, dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah-sekolah Islam yang kalah bersaing dengan kelompok lain. Indikatornya adalah data dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan/Depdikbud, sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hanya sedikit lulusan SMA Islam yang bisa lolos ke perguruan tinggi favorit.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2015 ini menceritakan bahwa mayoritas dari 40 sekolah terbaik itu adalah SMA non-Muslim. Lulusannya banyak yang bisa masuk pusat-pusat keunggulan akademik, seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga.
(Baca juga: Pembelian TV Nasional yang Gagal dan Rp 500 M Dana Muhammadiyah Jatim)
“Waktu itu Universitas Muhammadiyah belum ada yang masuk ya. Sekarang sudah masuk, sejajar dengan lainnya,” tambah Din.
“Dari 40 SMA terbaik itu, 1 sampai 36 itu SMA Kristiani, baik Katolik maupun Protestan,” jelas Din tentang kesimpulan data dari Kemendikbud itu. Baru di belakangnya itu, ada yang beberapa SMA Negeri.”
Dengan perkembangan zaman, ditambah dengan berbagai upaya perbaikan, ketertinggalan itu memang sedikit terpangkas walaupun belum terlalu signifikan. “Alhamdulillah, sekarang ada hasilnya, sekolah-sekolah Islam banyak yang unggul. Termasuk sekolah Muhammadiyah di Jawa Timur. SD, SMP, SMA, termasuk juga perguruan tingginya,” jelas Din Syamsuddin “menghibur” pimpinan Muhammadiyah se-Jatim itu. (kholid)