PWMU.CO – Dibalik slogan Kabupaten Jombang sebagai Kota Santri, ternyata ada masalah sosial-kemasyarakatan yang butuh penanganan serius. Yaitu peningkatan penyalahgunaan narkoba dan penyebaran HIV-AIDS. Demikian salah satu harapan dari Wakil Bupati Jombang, Mundjidah Wahab, saat memberikan sambutan dalam pelantikan Pimpinan Daerah Muhammadiyah dan Aisyiyah (PDM/PDA) Jombang periode 2015-2020, di pendopo Pemerintah Kabupaten Jombang, (15/5)
“Inilah dua bidang garap yang bisa dikerjakan bersama antara Pemkab dan Muhammadiyah. Terutama Aisyiyah,” jelas Mundjidah. Dalam paparannya, Wabup, menyajikan data-data tentang peningkatan kedua masalah. Terkait penyalahgunaan narkoba, ternyata Jombang tercatat di urutan ke-5 dari 38 kota/kabupaten seluruh Jawa Timur.
“Adapun jumlah penderita HIV-AIDS juga mengalami peningkatan yang tajam. Di Jawa Timur, Jombang berada di peringkat ketiga setelah Surabaya dan Malang,” urai Mundjidah. HIV-AIDS selain karena faktor pelacuran, faktor lainnya juga terkait dengan penyalahgunaan narkoba. Dua problem ini tentu membutuhkan peran organisasi masyarakat-keagamaan untuk ikut serta mengatasi dan mengantisipasinya agar terkendali.
(Baca: Ini Alasan Mengapa Muhammadiyah Merasa Tidak Punya Musuh dan Mengkafirkan dan Mencaci Pelaku Bid’ah Bukanlah Watak Muhammadiyah)
Pesan lebih mendalam juga ditekankan oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Muhadjir Effendy. Menyadari Jombang sebagai tempat kelahiran Nahdlatul Ulama (NU), Muhadjir meminta Muhammadiyah dan NU di daerah ini bersatu dalam mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba dan peningkatan HIV-AIDS. “Muhammadiyah dan NU memang punya beberapa perbedaan. Biarlah perbedaan itu tetap berbeda, tapi keduanya bisa bertemu bersama-sama menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat.”
Seperti mengajak bernostalgia ke masa lampau, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini bercerita tentang sosok pendiri Muhammadiyah maupun NU: KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. Meski keduanya mendirikan organisasi yang kemudian punya perbedaan di sana-sini, tapi keduanya masih punya “titik singgung” yang menyatukan. “Perlu diingat bahwa keduanya itu punya guru yang sama,” jelasnya.
(Baca juga: Pertanyaan Usil Santri pada Kyai dan Apa yang Terjadi jika Warga Muhammadiyah Jadi Imam Jamaah Nahdhiyin?)
Lebih lanjut, Muhadjir menyatakan, berdirinya Pesantren Tebuireng dan NU oleh Hasyim Asy’ari di Jombang, juga sangat dipangaruhi kondisi lokal saat itu. Yaitu mendidik masyarakat setempat agar “molimo”, “Mo” berarti moh, tidak mau, sedangkan limo adalah 5 perkara. Kelimanya adalah moh main (tidak berjudi), moh ngombe (tidak mabuk-mabukan), moh madat (tidak mengisap ganja/narkoba), moh maling (tidak mencuri), dan moh madon (tidak berzina).
“Jadi, kalau sekarang tantangan terbesar di masyarakat Jombang adalah penyalahgunaan narkoba dan peningkatan HIV-AIDS, ini memang mengulang tantangan yang sama saat Kyai Hasyim mendirikan Tebuireng,” jelas Muhadjir. Karena itu, tambahnya, sudah saatnya Muhammadiyah dan NU di Jombang bersatu dalam menangani kedua masalah ini. Tentu saja bersatu ini tanpa mengabaikan perbedaan yang dimiliki oleh keduanya, karena faktanya, memang punya perbedaan di sana-sini. (mizan)