PWMU.CO – Puasa adalah ritual klasik yang terdapat pada semua agama, baik agama samawi—yang berlatar belakang wahyu—ataupun agama thabi’i yang berlatar belakang budaya. Tanpa ada rasul dan kitab suci pun manusia tetap berpuasa, tentu dengan ragam cara dan tujuannya, karena beragama adalah bagian dari naluri manusia.
Allah yang Arrahman dan Arrahim berkenan mengutus para rasul dan menurunkan kitab suci, membimbing manusia agar beragama secara sahih. Di bawah bimbingan para rasul umat beriman zaman silam juga berpuasa. Inilah yang disitir dalam firman Allah dalam Albaqarah ayat 183, “Kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum.” Sebagaimana ditetapkan kepada umat-umat para nabi zaman dahulu—yang notabene pemeluk agama tauhid.
Bagaimana persisnya cara mereka berpuasa hanya dapat diduga-duga, mungkin begini dan mungkin begitu. Namun sukar untuk dipastikan seperti apa praktiknya.
Syariat Nabi Muhammad SAW sebagai ajaran mutakhir telah menganulir sekaligus mengintrodusir bentuk final tata tertib puasa bagi kaum beriman, alladzina amanu). Nabi SAW menjelaskan semua sistem peribadatan dalam Islam termasuk di dalamnya puasa, berkarakter hanifiyyah-samhah, yaitu bersendikan tauhid dan amat mudah pelaksanaannya tanpa menyakiti diri sendiri.
Makanya puasa yang tujuannya atau motivasinya untuk selain Allah dilarang. Nabi SAW juga melarang puasa sepanjang tahun (shaum addahr), puasa tanpa berbuka dan makan sahur (shaum wishal). Sehingga cara berpuasa yang tidak sejalan dengan yang ditetapkan dalam syariat Islam, yakni preskripsi Alquran dan tradisi Rasulullah, dianggap nihil.
Ditilik dari sudut semantik, lafaz ‘shiyām’ yang dipakai Alqur’an untuk ‘puasa’ asalnya mengandung arti bertahan atau menahan diri. Dari kata kerja shāma-yashūmu. Dalam konteks syariat Islam, puasa yang dimaksud ialah menahan diri dari makan-minum dan kegiatan seksual sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, serta perbuatan perbuatan yang bisa mengurangi bahkan membatalkan pahala puasanya, dengan niat ibadah kepada Allah. (*)
Kolom ‘Oase Ramadhan’ oleh Dr Syamsuddin MA, Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (Jawa Timur).