PWMU.CO – Seminggu lalu saya ada di Yogyakarta. Menginap di sebuah hotel di Jalan P Mangkubumi. Hotelnya bagus, asri, tenang, dan auranya cocok dengan saya. Namun, bukan itu yang penting sehingga saya sering tinggal di situ setiap ke Yogyakarta. Karena yang menarik sebenarnya adalah ritual manusia yang dimulai kira-kira habis maghrib dan berakhir sekitar pukul dua dinihari.
Ada sejumlah angkringan (roda berjualan) yang diparkir sepanjang sisi jalan yang ramainya minta ampun. Salah satu yang menarik dari Yogyakarta adalah angkringan ini. Angkringan dengan ‘sejuta’ sate (sate telur puyuh, sate ayam, sate usus, sate udang, dll) yang dilepas begitu saja, tanpa penutup, dan pembeli diberi kebebasan memilihnya.
(Baca: Kenapa Orang yang Kelupaan Sesuatu Mudah Ingat saat Shalat? Berikut Penjelasannya dari Aspek Ilmu Otak dan Kenapa Indonesia Banyak Koruptor? Ini Penjelasan Taufiq Pasiak)
Semangat makan tampak sangat tinggi karena ada begitu panjang antrian. Anak-anak muda necis dan orang-orang tua dari kelas atas juga turut serta dalam ritual ini. Mereka antri, duduk lesehan, tertawa-tawa dan tanpa sungkan berselonjor kaki usai makan disertai bunyi sendawa mulut. Bisakah Anda membayangkan bagaimana nikmatnya sate udang dan sate usus ayam yang dimakan bersama ‘nasi kucing’ dengan minuman segelas kopi arang? Kopi yang diseduh dengan arang panas dari pembakaran di bawah ketel air.
Saya tak habis pikir apakah orang-orang ini makan karena makanannya yang memang enak (uenaak tenaan!) ataukah karena suasananya yang aman-nyaman dan murah meriah. Bagi saya, makanan itu enak. Tentu menurut selera masing-masing. Yang jelas, begitu selesai lesehan dan makan, saya kembali ke hotel dan bisa menulis hingga 10-an lembar tulisan dalam waktu 2-3 jam saja.
(Baca: Ketika Tidak Puasa 2 Edisi Ramadhan Karena Hamil-Menyusui dan Ziarah Kubur dan Praktik Pemujaan Makam Keramat)
Ide mengalir begitu saja, pindah ke jari dan akhirnya berhenti di keyboard. Saya tak tahu apakah tempe mendoan, kopi arang dan ‘nasi kucing’ itu memengaruhi pikiran saya. Wallahu a’lam. Perlu diteliti lebih lanjut. Yang jelas, studi-studi tentang makanan dalam dunia medis, menemukan bukti bahwa memang ada hubungan antara makanan, otak, dan pikiran manusia. You are what you eat, kata sebuah pepatah.
Sejumlah pustaka memang menyatakan bahwa perubahan manusia dalam pola dan jenis makanan telah mengubah cara berpikir dan kepribadian mereka. Bukti-bukti sejarah manusia kuno (paleontologis) menunjukkan adanya hubungan langsung antara akses ke makanan dan ukuran otak. Perbedaan kecil saja dalam diet memiliki pengaruh besar dalam kelangsungan hidup dan reproduksi.
(Baca: Abdul Mu’ti: Jangan Curigai Muhammadiyah dan Ketika Aktivis Muhammadiyah Nikahkan Tuhan)
Ukuran otak kelompok Humanoid (manusia masuk dalam kelompok ini) yang lebih besar berkaitan dengan munculnya ketrampilan memasak, akses makanan lebih luas dan posisi berjalan yang makin tegak. Perubahan kecerdasan manusia juga dikarenakan konsumsi asam lemak Omega-3 yang makin bagus. Omega-3 turut membentuk dinding-dinding sel otak dimana proses pengolahan informasi dilakukan.
Akses makanan berlimpah dengan kandungan asam lemak Omega-3 yang dialami dalam perubahan otak manusia telah memungkinkan tumbuhnya kecerdasan pada kelompok Humanoid ini. Seperti diketahui, ikan adalah sumber berlimpah Omega-3 ini. Banyak laporan penelitian menunjukkan bahwa orang-orang Jepang yang mengonsumsi ikan lebih banyak memiliki angka kejadian depresi yang lebih rendah dibandingkan dengan orang Jerman misalnya (Jeffrey H. Schwartz, 1998). Baca sambungan di hal 2 …