PWMU.CO – Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020, kalau mau menjadi penonton yang baik maka tidak sekadar menonton. Kalau mau jadi pemain yang baik maka perlu dukungan penonton yang baik juga.
Hal itu disampaikan oleh Dr Ma’mun Murod Al Barbasy ketika menjadi pemateri pada Diskusi Publik Pilkada 2020 Penonton atau Pemain yang digelar Lembaga Hukum dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM Jawa Timur di Hall Mas Mansur Jalan Kertomenanggal IV/1 Surabaya, Sabtu (24/8/19).
Dia mengatakan, bicara politik kalau di internal Muhammadiyah koridornya memang begitu ketat: al Islam ad din ad daulah. “Sementara realitas politik yang dihadapi seperti kita saksikan bersama realitasnya,” ujar Murod, sapaan akrabnya.
Pada pemilu 1955, pertarungan yang berkembang adalah dengan pertimbangan ideologis. Waktu itu kalau partai Islam bergabung maka bisa unggul mengalahkan partai nasionalis. Maka ketika sekarang terjatuh pada politik pragmatis, Muhammadiyah tidak terbiasa menghadapi persoalan semacam ini.
Jadi terlihat Muhammadiyah gagap sekali. “Pak Nadjib pun sampai tidak jadi. Kira-kira siap gak Pak Nadjib maju lagi. Semoga tidak kapok,” candanya disambut tawa hadirin. Nadjib Hamid adalah Wakil Ketua PWM Jatim yang mencalonkan anggota DPD namun gagal terpilih.
Jangankan untuk menghadapi pilkada 2020, coba lihat realitas politik yang kemarin baik untuk pileg maupun pilpres. “Bahkan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sampai perlu menggelar konsolidasi politik nasional,” imbuhnya.
Murod menegaskan, berpolitik harus tersistem dengan baik. Dukungan juga harus tersistem dengan baik. “Sebenarnya kita bisa. Saya prihatin ada daerah yang tidak mempunyai wakil di DPRD. Kalau satu dapil ada tiga kecamatan dan kalau satu kecamatan ada 500 orang Muhammadiyah, maka bisa ditarget dapat suara 5000,” papar Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta ini.
Kalau serius dan tidak main-main pasti bisa. Dari 500 anggota itu, maka bersepakat jipol itu jadikan 5000 suara maka tiap orang cari 10 orang. “Kalaupun harus pragmatis maka gak papa yang penting jelas. Yang penting tetap tersistem. Kalau satu suara Rp 25 ribu maka berjipol hanya Rp 250 ribu untuk lima tahun. Kalau yang diusung jadi maka untuk kepentingan Muhammadiyah,” terangnya.
Pola pikir kalau mau serius sekarang eranya seperti itu. “Kalau masih berpikir hitam putih ya sudah selesai, jangan bicara politik. Faktanya seperti itu. Realitas yang dihadapi sekarang seperti ini,” jelasnya. (*)
Kontributor Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.