PWMU.CO – Hari ini, 1 Oktober 2019, kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila yang disepakati bersama para pendiri bangsa adalah Pancasila versi 18 Agustus 1945 yang kemudian ditegaskan oleh Presiden Soekarno dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 setelah Konstituante gagal menyusun UUD pengganti UUD 45. Penegasan soal versi Pancasila ini penting karena beberapa pihak telah mencoba memelintir sejarah dengan mamaksakan Pancasila versi 1 Juli 1945 dengan susunan yang berbeda.
Sebagai gagasan dasar, bahkan filosofi dasar negara, Pancasila adalah kompleks gagasan. Segera harus disadari bahwa gagasan itu hidup dalam alam pikir dan atau kesadaran manusia yang hidup, bukan di atas kertas.
Gagasan yang sakti adalah gagasan yang memberi inspirasi, pedoman bagi yang setia menghayatinya dalam seluruh kehidupannya. Sebagai gagasan dasar negara, gagasan itu perlu dihayati oleh sekelompok manusia, bukan hanya orang per orang, yang bahkan berbeda suku dan agamanya. Kesaktiannya hanya bisa dipahami demikian.
Perilaku yang mudah mengaku dengan mem-Pancasila-kan diri dan kelompoknya sendiri, sambil menganti Pancasila-kan liyan, adalah perilaku yang menyakitkan Pancasila bukan menyaktikannya. Tuduhan yang mudah dilontarkan pada kelompok yang berbeda pendapat sebagai anti-Pancasila, anti-NKRI, intoleran, radikal dan sebagainya tidak saja bertentangan dengan gagasan dasar Pancasila, namun juga mempreteli Pancasila.
Pancasila dirumuskan para pendiri bangsa dengan kesadaran penuh bahwa bangsa Indonesia itu majemuk, beraneka ragam suku, bahasa, dan agama. Pancasila tidak disepakati untuk mengabaikan atau bahkan meniadakan keragaman tersebut, tapi justru untuk mempersatukannya.
Oleh karena itu semua ekspresi keunikan anggota bangsa harus dihargai dan dihormati sebagai bagian esensial dalam kehidupan ber-Pancasila. Dalam rangka menyikapi keragaman ini perlu dicatat, bahwa keragaman agama adalah bagian penting dalam rajutan kebhinnekaan itu.
Mengapa? Beragama atau berketuhanan yang Maha Esa adalah proses kreatif yang berhasil melampaui primordialitas sukuisme. Beragama adalah training ground untuk memahami imajinasi bangsa sebagai satuan yang melampaui primordialitas sehingga memungkinkan kelahiran bangsa baru, bangsa Indonesia pada 28 Oktober 1928.
Dalam perspektif itu, tragedi kemanusiaan yang terjadi di Wamena beberapa hari ini adalah sebuah pelecehan terhadap Pancasila. Tidak peduli apakah ini tindakan kriminal biadab Kelompok Sipil Kriminal Bersenjata, atau hasil operasi intelijen asing, kejadian itu terlanjur menjadi bukti bahwa negara gagal menjaga eksistensi Pancasila di Bumi Papua.
Tidak cukup jika pemerintah hanya menyalahkan sekelompok penjahat, karena pemerintah telah diberi amanah oleh negara beserta semua sumberdayanya, untuk mewujudkan Pancasila sebagai dasar negara yang dinyatakan dalam Pembukaan kontitusi.
Jika kejahatan kemanusiaan di Wamena ini dibiarkan tanpa penyelesaian, maka ini akan menjadi skandal kejahatan kemanusiaan melalui pembiaran oleh Pemerintah yang kini berkuasa.
Pada saat proses-proses kehidupan berbangsa dan bernegara semakin liberal menjauhi prinsip permusyawaratan, kehidupan ekonomi yang makin kapitalistik menjauhi prinsip-prinsip kekeluargaan, kehidupan yang makin melecehkan kemanusiaan yang adil dan beradab, maka nasib Republik ini sedang nyata-nyata dipertaruhkan masa depannya. Persatuan dibajak mengarah pada persatean seperti dikhawatirkan Bung Hatta.
Menutup refleksi Hari Kesaktian Pancasila ini, perlu kita cermati bahwa saat perpolitikan direduksi menjadi sekadar perebutan kekuasan partai politik, hukum dikerdilkan menjadi sekedar legislasi secara ugal-ugalan, keamanan dan ketertiban secara ironis diplintir menjadi aksi brutal polisi, pemikiran bebas mahasiswa di bully ditunggangi macam-macam, maka memang kapasitas berimajinasi bangsa ini sedang dibonsai habis-habisan sejak pendidikan dilecehkan sekadar persekolahan.
Jika Pancasila adalah gagasan dan bangsa adalah komunitas yang dimajinasikan, maka yang sedang terjadi saat ini adalah pelecehan serius atas Pancasila. (*)
Gunung Anyar, 1 Oktober 2019
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya.