Kedua, seandainya kitab itu benar dari Muhammadiyah/Ahmad Dahlan, maka wajar dan tak ada masalah dengan berbagai pertimbangan. Interaksi Ahmad Dahlan dengan guru yang berpandangan demikian (Saleh Darat, Ahmad Khatib, dan syaikh-syaikh lain di Mekkah).
Alasan lainnya, perhatian Ahmad Dahlan bukan/belum pada fikih, tapi pada pembaruan pemikiran (kalam/Muhammad Abduh, kemajuan/Jamaluddin al-Aghani, dan Ilmu Falak). “Walau mungkin sama pada fikih/ubudiyah, tapi jelas beda pada aspek-aspek non fikih,” tegas Din.
(Baca: Ketika Dua Ormas Besar Berbagi Tugas: Muhammadiyah Urus Milad dan NU Urus Haul dan Ini Perbedaan Gaya Sarungan Warga Nahdliyin dan Muhammadiyah)
Ketiga, bagi Muhammadiyin, Muhammadiyah bukan Dahlaniyah, dan perkembangan paham keagamaan bersifat dinamis (berkemajuan) dari masa ke masa. Seperti pada gerakan-gerakan keagamaaan lain semisal Ikhwanul Muslimin (IM) dan Nahdlatul Ulama (NU), ideologisasi berlangsung pada tokoh-tokoh pasca pendiri. Seperti IM oleh Sayyid Qutb, NU oleh Wahab Hasbullah, dan Muhammadiyah oleh Mas Mansur, dan lain-lain).
Keempat, di kalangan fuqaha sekalipun, perbedaan atau perubahan pikiran sangat mungkin sejalan dengan perubahan ruang dan waktu. Seperti pada Imam Syafi’i dengan qaulun qadiim dan qaulun jadiid. “Begitu pula Ahmad Dahlan,” tambah Din.
(Baca: Gus Ipul: Tak Bisa Dibayangkan jika Indonesia tanpa Muhammadiyah dan Belum Pernah Lihat Ketua Muhammadiyah-NU Gantian Memijat?)
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini lantas menegaskan, ada satu poin penting yang harus diperhatikan. “Muhammadiyah sebagai gerakan sangat bertumpu pada sistem, institutionalized, dan bukan berorientasi personal apalagi dengan kultus individu. Begitu pula, wawasan keagamaannya bertumpu pada ijtihad jama’i (ijtihad kolektif). Itulah Islam Berkemajuan.”
Maka, tambah Din, kitab fikih yang diklaim karya Kyai Ahmad Dahlan yang diterbitkan pada tahun 1924 (meski beliau wafat setahun sebelumnya), karangan itu tidak ada masalah dan tidak usah dipermasalahkan.
(Baca: Nonmuslim pun Berterima Kasih pada Muhammadiyah dan Jangan Jadi Umat Islam Sontoloyo)
***
Catatan Redaksi
Demikian tanggapan ini semoga bisa mengakhiri polemik yang sebenarnya tidak ada untungnya ini. Toh, dalam masalah fiqhiyah, kebenarannya tidak selalu tunggal, sehingga sikap toleran menjadi niscaya. Intinya, biasa sajalah berbeda, apalagi hanya dalam masalah yang tidak penting-penting amat. (kholid)