PWMU.CO – Gerakan sujud dalam shalat termasuk posisi hamba yang paling dekat dengan Allah. Karena itu Nabi Muhammad SAW menganjurkan memperbanyak doa di dalamnya, sebagaimana sabdanya:
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“Yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa ketika itu.” (HR Muslim No. 1111, dari Abu Hurairah).
Status Hadits
Hadits tersebut sahih. Selain Muslim, hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad No. 9461; Abu Dawud dalam Al-Sunan No. 875; Al-Nasai dalam Al-Sunan No. 1137; dan lain-lain. Al-Albani juga menilai hadis tersebut shahih (Al-Albani, Irwa Al-Ghalil, II/207).
Kandungan Hadits
Dalam hadits tersebut dapat dipahami bahwa memperbanyak doa pada waktu sujud memang dianjurkan. Namun, tidak ada ketentuan dan anjuran untuk memperbanyak doa hanya pada saat sujud yang terakhir. Karena itu memperbanyak doa, sesuai hadits tersebut, dapat dilakukan pada saat kapan saja setiap melakukan sujud.
Sebagian ulama tidak membenarkan jika hanya mengkhususkan pada sujud terakhir untuk memperbanyak doa, sehingga sujudnya lebih lama dibandingkan dengan sujud-sujud yang lain. Syekh al-Utsaimin mengatakan: “Memperpanjang sujud terakhir ketika shalat bukanlah termasuk sunah. Yang sesuai sunah Nabi SAW adalah seseorang melakukan shalat, antara rukuk, bangkit dari rukuk (iktidal), sujud, dan duduk antara dua sujud itu hampir sama lamanya”.
Al-Bara’ bin ‘Azib meriwayatkan hadits sebagai berikut:
كَانَ رُكُوعُ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم وَسُجُودُهُ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ وَبَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قَرِيبًا مِنَ السَّوَاءِ
“Rukuk, sujud, bangkit dari rukuk (iktidal), dan duduk antara dua sujud yang dilakukan oleh Nabi SAW, semuanya hampir sama (lama dan thuma’ninah).” (HR Bukhari No. 801 dan Muslim No. 471).
Karena itu, jika ingin memperbanyak doa pada saat sujud, tidak perlu mengkhususkan pada sujud yang terakhir saja, tetapi dapat dilakukan pada saat sujud-sujud yang lain dalam shalatnya.
Yang perlu diperhatikan bagi makmum ketika shalat berjamaah adalah jangan sampai menyelesihi imam gara-gara memperlama dalam sujudnya. Hal ini bisa merusak shalat jamaahnya. Secara syari, jika imam sudah selesai dari sujud terkahir maka selaku makmum hendaklah segera bangkit dari sujud untuk mengikuti imam ketika itu, tidak boleh menyelisihinya. Karena imam itu diangkat untuk diikuti.
Nabi SAW bersabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ
“Imam itu diangkat untuk diikuti, maka janganlah diselisihi.” (HR Bukhari No. 722, dari Abu Hurairah).
Yang menjadi perselisihan (beda pendapat) di kalangan ulama dalam hal memperbanyak doa pada saat sujud adalah tentang bacaan doanya.
Apa yang dimaksud dengan memperbanyak doa itu? Haruskah doa yang dibaca pada saat sujud itu sesuai dengan doa-doa sujud yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW? Bolehkan membaca doa di luar itu, yakni doa sendiri sesuai dengan yang dikehendaki untuk kebutuhan hidup di dunia ini?
Dalam hal ini ada tiga pendapat. Pertama, ulama Hanafiyah: doa yang dibaca itu harus sesuai dengan doa-doa sujud yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, khususnya bacaan tasbih.
Kedua, ulama Hanabilah: doa yang dibaca itu boleh selain bacaan sujud yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, asal doa itu maktsur (berasal dari Alquran atau Alhadits yang shahih).
Ketiga, ulama Malikiyah dan Syafi’iyah: doa yang dibaca itu boleh dengan doa-doa yang lain sesuai yang dikehendaki asal tidak doa untuk suatu dosa dan pemutusan silaturahim.
Syaikh Wahbah Al-Zuhaili mengatakan: “Ulama al-Hanafiyah berpendapat: orang shalat ketika rukuk dan sujudnya tidak boleh membaca selain tasbih, ini menjadi pendapat madzhab. Adapun hadits tersebut bermakna pada shalat sunah.
Sedangkan, ulama Malikiyah menganjurkan doa ketika sujud, baik doa yang terkait dengan urusan dunia atau agama atau akhirat, untuk dirinya atau orang lain, secara khusus atau umum tanpa batasan, bahkan dengan itu Allah Taala telah memberikan kemudahan.
Menurut ulama Hanabilah, tidak apa-apa berdoa dengan doa-doa dan dzikir yang maktsur. Sedangkan ulama al-Syafi’iyah menguatkan kesunnahan berdoa (apa saja) ketika sujud. (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/84)
Rasulullah SAW memberikan contoh doa yang dibacanya ketika sujud, yakni sebagai berikut:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلاَنِيَتَهُ وَسِرَّهُ
“Ya Allah ampnilah dosa-dosaku semua, baik yang halus atau yang jelas, yang awal dan yang akhir, dan yang terang-terangan dan yang tersembunyi.” (HR Muslim No. 1112)
Nah, jika membaca doa ini maka sangat bagus dan kita telah mengikuti sunah Nabi SAW. Tetapi apakah dengan ini berarti membatasi doa-doa yang dibaca? Bolehkah membaca doa lain sesuai kebutuhan kita?
Imam Al-Nawawi (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, III/471), mengatakan bahwa doa-doa dalam sujud tersebut adalah mutlak dan tidaklah dibatasi. Doa apa saja yang termasuk maksud doa adalah boleh. Sebab Rasulullah SAW melakukan berbagai doa yang berbeda dan berbagai tema. Ini menunjukkan bahwa hal itu tidak dilarang.
Dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim), dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi SAW bersabda tentang doa akhir tasyahhud:
ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَلْيَدْعُ بِه
“Kemudian hendaknya dia memilih doa yang disukai dan sesuai seleranya.” Dalam riwayat Imam Muslim, sebagaimana menjelasan bab yang lalu, dari Abu Hurairah: “Kemudian dia berdoa untuk apa-apa yang nyata untuk dirinya.”
Suatu saat Syekh Bin Baz (Fatawa Bin Baz, XI/64-65) ditanya tentang hukum membaca doa untuk urusan dunia pada saat sujud dalam shalat fardhu.
Beliau menjawab: “Berdoa pada saat sujud dalam shalat-shalat fardhu maupun sunah, baik untuk dirinya maupun orang lain yang dikehendaki adalah termasuk perkara yang disunahkan atau disyariatkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW: ‘Yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu.’”
Lebih lanjut Bin Baz mengatakan memperbanyak berdoa juga disyariatkan pada saat sujud dengan doa apa saja, baik urusan dunia ataupun urusan akhirat. Misalnya berdoa minta istri yang shalihah, anak yang baik, rezeki yang halal, dan lain-lain.
Hal ini sesuai dengan beberapa hadis yang hampir sama maknanya seperti sabda Nabi SAW: “Kemudian hendaknya dia memilih doa yang disukai dan sesuai seleranya.”
Dalam riwayat Imam Muslim, sebagaimana menjelasan bab yang lalu, dari Abu Hurairah: “Kemudian dia berdoa untuk apa-apa yang nyata untuk dirinya.” (Muttafaqun Alaih).
Dari pembahasan di atas dapat disimpulan: Pertama, memperbanyak doa pada saat sujud adalah dianjurkan dan sesuai dengan syariat.
Kedua, memperbanyak doa pada saat sujud, tidak dianjurkan hanya pada saat sujud yang terakhir, tetapi boleh dilakukan pada setiap sujud dalam shalatnya, baik shalat fardhu maupun shalat sunah.
Ketiga, ulama berbeda pendapat tentang bacaan yang dibaca dalam memperbanyak doa di waktu sujud.
Sebagian ulama, seperti Hanafiah, hanya membatasi pada doa-doa sujud yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sementara ulama lain, seperti Hanabilah, membolehkan bacaan doa selain bacaan sujud, asal doanya maktsur dari Alquran ataupun Ahadits. Adapun ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, membolehkan bacaan doa apa saja yang dikehendaki, baik doa untuk kepentingan dunia maupun akhirat.
Muhammadiyah, melalui Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan membaca bacaan lain selain bacaan yang diajarkan oleh Rasulullah saat bersujud (https://tarjih.or.id, disidangkan pada 5 Mei 2006).
Wallahu A’lam! (*)
Oleh Dr H Achmad Zuhdi Dh MFil I, Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Artikel ini kali pertama dipublikasikan di majalah MATAN.