PWMU.CO – Bagaimana hukum melantunkan syair atau puji-pujian di masjid atau mushala sebelum shalat beramaah? Untuk membahas masalah itu, kita tinjau sebuah hadits di bawah ini:
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثاَبِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أنْشَدْتُ وَفِيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إلَى أبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أسَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أجِبْ عَنِّيْ اَللّهُمَّ أيَّدْهُ بِرُوْحِ اْلقُدُسِ قَالَ اَللّهُمَّ نَعَمْ
Dari Sa’id bin al-Musayyib, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku pernah melantunkan syair di masjid (padahal) saat itu ada seorang yang lebih mulia darimu (Nabi Muhammad Saw).’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW: “Jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus”. Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya).” (HR Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain).
Status Hadits
Dalam kitabal-Silsilah al-Shahihah, II/642, al-Albani mengatakan bahwa hadis tersebut termuat dalam Shahih Muslim, VII/162-163, Sunan Abu Dawud, II/316, al-Thayalisi, 304, Ahmad, II/269,V/222, dari al-Zuhri, dari Sa’id, dan dari Abu Hurairah.
Dalam riwayat Ahmad ada tambahan kalimat yang menjelaskan:
فانصرف عمر و هو يعرف أنه يريد رسول الله صلى الله عليه وسلم
Kemudian Umar berpaling pergi, dan ia mengetahui yang dimaksud dengan orang (yang lebih baik dari dirinya) adalah Rasulullah SAW. Kata al-Albani, sanad hadits tersebut shahih.
Kandungan Hadis
Hadis tersebut menjelaskan bahwa suatu hari Umar bin Khattab bertemu Hassan bin Sabit (sang penyair) yang sedang melantunkan syairnya di dalam masjid. Saat itu Umar menegurnya, namun Hassan tidak terima lalu mengatakan kepada Umar bahwa dirinya pernah melantunkan syair di masjid dan Rasulullah SAW membiarkannya. Untuk meyakinkan Umar ia minta kesaksian Abu Hurairah untuk membenarkannya. Setelah itu Umar berpaling dan pergi.
Hadits ini, oleh sebagian ulama, dijadikan dasar bolehnya puji-pujian sebelum shalat berjamaah. Yang dimaksud dengan puji-pujian sebelum shalat berjamaah adalah membaca syair-syair dengan suara keras yang berisi puji-pujian kepada Allah, shalawat kepada Nabi SAW dan kata-kata nasihat dari orang bijak, seperti Tombo Ati dan lain sebagainya.
Banyak masjid-masjid di Indonesia yang mempraktikkan pujian-pujian ini. Terutama di wilayah pedesaan. Puji-pujian ini biasanya dilakukan pada saat jeda antara adzan dan iqoma saat shalat berjamaah.
Hal tersebut dilakukan sambil menunggu makmum yang lain serta imam shalat datang. Pujian dibawakan oleh muadzin bersamaan dengan para jamaah yang sudah datang. Puji-pujian bisa dalam bentuk dzikir, ajakan, doa, shalawat nabi, atau sya’ir-sya’ir yang islami dengan suara keras.
Puji-pujian sudah menjadi kebiasaan masjid atau mushala di Jawa sejak zaman dahulu. Secara historis, di Indonesia kebiasaan tersebut berasal dari pola dakwah para Wali Songo, yakni membuat daya tarik bagi orang-orang di sekitar masjid yang belum mengenal ajaran shalat.
Dengan dilantunkannya pujian, tembang-tembang dan sya’ir islami seadanya pada saat itu secara berangsur dan dikit demi sedikit, sebagian dari mereka bersedia untuk berdatangan mengikuti shalat berjamaah di masjid.
Di kalangan ulama Indonesia, puji-pujian dengan suara keras sebelum shalat jamaah telah menjadi khilafiyah (perbedaan pendapat). Sebagian ulama membolehkan bahkan cenderung menganggapnya sunah. Sementara ulama yang lain tidak membolehkan bahkan membid’ahkannya.
Ulama yang membolehkan dan cenderung menganggapnya sunah antara lain beralasan sebagai berikut:
Pertama, Syaikh Isma’il al-Zain menjelaskan bahwa hadits tersebut menunjukkan bolehnya melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama, dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid (Irsyadul Mu’minin ila Fadha’ili Dzikri Rabbil ‘Alamin, 16).
Kedua, dari sisi syiar dan penanaman akidah umat, selain menambah syiar agama, amaliah ini (pujian) merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasihat.
Selain itu, dari aspek psikologis, lantunan syair yang indah dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi semacam warming up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat berjamaah.
Ketiga, puji-pujian tersebut dapat sebagai upaya untuk mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat jamaah dilaksanakan. Selain itu dimaksudkan agar para jamaah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu shalat jamaah dilaksanakan.
Sedangkan ulama yang tidak membolehkan dan menganggapnya bidah antara lain beralasan sebagai berikut:
Pertama, memang mengucapkan puji-pujian kepada Allah Swt adalah sebuah ibadah yang sangat baik dan dianjurkan. Termasuk juga membaca shalawat dan salam kepada Nabi SAW. Sebab Allah SWT dan para malaikat-Nya pun telah bershalawat kepadanya. Maka Allah SWT pun memerintahkan umat Islam untuk memperbanyak shalawat kepada Nabi dan Rasul termulia itu (Alahzab 56).
Tetapi, perlu diketahui bahwa tidak terdapat satu hadis pun yang menerangkan pentingnya membaca shalawat dan salam dengan suara keras sebelum shalat jamaah. Jadi pada masa Nabi SAW dan Sahabat masih hidup, tradisi puji-pujian sebelum shalat itu tidak ada atau tidak dianjurkan.
Mengenai hadis riwayat Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud dari Said bin al-Musayyib yang menerangkan adanya sahabat (Hassan bin Sabit) membaca syair di masjid tersebut memang benar (shahih), tetapi tidak dibaca sebelum shalat jamaah. Jadi tidak bisa dijadikan dalil untuk bolehnya membaca puji-pujian sebelum shalat jamaah.
Kedua, sebelum shalat jamaah dilaksanakan, biasanya ada beberapa orang yang datang duluan kemudian melaksanakan shalat sunnah qabliah/tahiyyatul masjid. Karena itu, jika ada beberapa orang yang membaca puji-pujian dengan suara keras maka dikhawatirkan akan mengganggu kekhusyu’an orang yang sedang shalat sunnah.
Agar tidak mengganggu orang yang sedang shalat, maka sambil menunggu jamaah yang lain, masing-masing dapat membaca tasbih, shalawat dan istighfar, serta doa-doa dengan suara pelan atau sirr, tidak dengan suara keras seperti lazimnya puji-pujian.
Ketiga, Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah memerintahkan mereka (para sahabat) agar dzikr takbir dan tahlil yang dilakukan dengan suara keras itu ditinggalkan. Nabi bersabda:
إِرْبَعُوْا عَلَي أَ نْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَغَائِبًا إِنَّمَا تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا (رواه البخاري و مسلم)
“Sembunyikanlah (lembut dan rendahkanlah) suaramu, karena sesungguhnya kamu tidak berdoa kepada yang tuli dan ghaib (tidak ada di situ), tetapi kamu sesungguhnya berdo’a kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat” (Albukhari dan Muslim).
Selain hadits tersebut, dalam Alquran, Allah juga memerintahkan:
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai (Alaraf 205).
Demikian perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai puji-pujian sebelum shalat berjamaah. Untuk lebih berhati-hati, kita dapat mengambil sikap tidak membiasakan puji-pujian dengan suara keras sebelum shalat berjamaah.
Sebagai gantinya, kita bisa mengisi waktu tunggu tersebut untuk berdzikir dan berdoa dengan suara pelan dan penuh kekhusyuan. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya berdoa antara adzan dan iqamah itu tidak tertolak (mudah dikabulkan), maka pergunakanlah untuk berdo’a.” (HR Ahmaddan al-Tirmidzi). Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih (Irwa al-Ghalil, I/262).
Memang sampai saat ini, masalah puji-pujian masih menjadi khilafiyah di kalangan ulama. Seperti yang telah dipaparkan di atas terdapat dua pandangan yang berbeda dan bertolak belakang. Namun, sudah kita ketahui bersama bahwa perbedaan pandangan dalam suatu masalah itu sudah biasa terjadi.
Maka sebagai umat Islam yang baik seyogyanya kita saling menghormati adanya perbedaan tersebut. Tidak menjadikan hal itu sebagai alasan untuk memutus tali silaturahmi. Bahkan, saling menghujat hingga memecah belah umat. Karena sesungguhnya perbedaan adalah sebuah keniscayaan.
Wallahu a’lam bishshawab! (*)
Oleh Dr H Achmad Zuhdi Dh MFil I, Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Artikel ini kali pertama dipublikasikan di Majalah MATAN.
Editor Mohammad Nurfatoni.