Soal Budaya, Beda Muhammadiyah dan Salafi
Muhammadiyah menerima budaya Barat jika sesuai dengan ajaran Islam dan menolak yang tidak sesuai. Salafi menolak budaya Barat, meskipun dalam realitas juga menirunya.
Muhammadiyah menerima budaya lokal dan melakukan islamisasi terhadap budaya lokal yang tidak sesuai nilai Islam. Salafi menolak budaya lokal dan mengacu pada budaya Arab masa Nabi yang tergambar dalam hadis.
Muhammadiyah berdakwah kepada Muslim dan non-Muslim. Kepada objek non-Muslim, didakwahi agar mengerti Islam. Kepada objek Muslim didakwahi agar menjadi muslim ideal yang lebih baik. Pendekatannya dengan prinsip hikmah, edukasi, dan dialog. Salafi berdakwah kepada muslim saja agar menjadi Muslim ideal yang bermanhaj salaf. Adapun non-Muslim dipandang kafir.
Muhammadiyah melakukan amar makruf nahi munkar secara individual dan kelembagaan. Secara individual dilakukan melalui pengajian, kultum, dan tabligh. Secara kelembagaan dilakukan secara sistematis melalui AUM (amal usaha Muhamamdiyah) dan filantropi pemberdayaan masyarakat.
Salafi melakukannya dengan tahzir (memperingatkan) dan hajr al-mubtadi’ (mengisolasi atau menyingkirkan pelaku bid’ah).
Hubungan dengan NKRI
Muhammadiyah turut mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperjuangkan agar NKRI menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Salafi Yamani patuh pada pemerintah NKRI, tetapi pasif. Salafi haraki dan jihadi menyimpan harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
Muhammadiyah memandang Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wa al-Syahadah, tinggal mengisinya agar sesuai dengan ajaran Islam. Salafi Yamani berprinsip apolitik, tetapi mengidolakan kehidupan berbangsa seperti zaman Nabi. Salafi haraki dan jihadi memperjuangkan terbentuknya negara Islam dan pemberlakukan hukum syariah.
Muhammadiyah berpandangan bahwa akal adalah perangkat yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk bisa survive. Akal berfungsi untuk memahami alam semesta dan teks keagamaan.
Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani dalam memahami al-Quran dan al-Sunnah. Teks keagamaan tersebut dipahami dengan menggunakan akal, karena Islam diturunkan untuk semua umat manusia dengan berbagai latar budaya dan peradaban yang berbeda.
Salafi mengabaikan peran akal dalam menafsirkan teks keagamaan. Bagi mereka, kebenaran itu tunggal dan hanya terletak dalam wahyu. Wahyu adalah sumber yang tidak bisa diperselisihkan, dan respons manusia terhadap wahyu terbelah menjadi taat dan ingkar.
Muhammadiyah berpandangan bahwa rasionalitas dan pengembangan ilmu-ilmu sosial humaniora diperlukan untuk memahami teks dan untuk membangun peradaban manusia yang maslahah dan islami. Salafi mengharamkan filsafat dan tasawuf. Baca sambungan di halaman 4: “Beberapa Perbedaan Hukum” …