Agenda Strategis Keumatan
Agenda strategis merupakan penjelmaan dari Strategi Kebudayaan atau Strategi Perjuangan yang lebih luas. Umat Islam Indonesia, melalui permusyawaratan tertinggi seperti KUII ini, seharusnya sudah memiliki Strategi Kebudayaan ataupun strategi perjuangan yang menjelaskan interrelasi antara aspek-aspek kebudayaan dan perjuangan umat Islam dalam membangun diri dan membangun bangsa.
Dalam strategi kebudayaan ini perlu dipastikan aspek-aspek kebudayaan apa yang bersifat primer dan aspek-aspek lain bersifat sekunder, aspek mana yang bersifat sentral dan aspek-aspek mana yang instrumental.
Aspek-aspek kebudayaan (cultural universal), yang merupakan keseluruhan dari kebudayaan masyarakat, menampilkan sejumlah gatra nilai, seperti nilai rohani dari agama, nilai kebersamaan dari sosial, nilai materi dari ekonomi, nilai kuasa dari politik, nilai keindahan dari seni, nilai pengetahuan dari pendidikan. Kesemuanya saling berkait dan harus dikaitkan.
Selama ini kebudayaan umat Islam terlalu menonjolkan nilai rohani dari keberagamaan yang bersifat ritualistik-spritualistik sehingga lebih melahirkan kesalehan individual, bukan kesalehan sosial.
Khutbah keagamaan lebih banyak berorientasi ukhrawi dan kurang banyak berorientasi duniawi. Islam kurang diperlakukan sebagai agama etik (etnical religion) yang memosisikan ibadat lebih sebagai jalan dari pada tujuan (tujuan ibadat mahdhah khususnya adalah pembentukan akhlak). Menempatkan nilai rohani sebagai prime mover (penggerak utama) kebudayaan/ peradaban menuntut adanya keberagamaan dinamis dan progresif.
Banyak yang memandang bahwa pembangunan kebudayaan dan peradaban sesuatu bangsa, termasuk pembangunan nasional mewujudkan visi kebangsaan, meniscayakan adanya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Bangsa dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) pun tidak akan sengalami kemajuan tanpa SDM yang berkualitas yang dapat mengelola SDA tersebut.
Jalan strategis untuk pembentukan SDM berkualitas adalah pendidikan. Maka, pendidikan harus menempati posisi sentral dalam strategi kebudayaan, tentu dalam hal ini perlu adanya sistem pendidikan yang holistik yang memadukan pengembangan berbagai kecerdasan manusiawi, baik emosional, intelektual, maupun spiritual.
Tapi bagi sebagian yang lain, pembangunan nasional sesuatu bangsa menuntut pembangunan ekonomi sebagai prime mover, karena kebutuhan mendasar manusia dan masyarakat sejatinya terletak pada pemenuhan kebutuhan ekonomi sehingga mereka bisa hidup bahagia dengan kecukupan sandang, pangan, dan papan. Inilah yang melahirkan developmentalisme, teori tentang pembangunan yang menekankan pembangunan aspek fisikal-material masyarakat.
Kemajuan suatu bangsa, dari perspektif developmentalisme, ditentukan oleh indikator pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pembanguan infrastruktur, dengan demikian, difokuskan pada infrastruktur fisik dan sering mengabaikan pembangunan infrastruktur non-fisik. Developmentalisme, yang merupakan turunan dari sistem ekonomi kapitalistik (kapitalisme global) sering menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi dalam masyarakat.
Maka, terakhir ini muncul koreksi terhadap developmentalisme dengan penambahan predikat menjadi pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dan bahkan ditambah dengan with equity atau dengan pemerataan (sustainable development with equity).
Namun, mimpi pemerataan tidak selalu menjelma khususnya di negara-negara di Dunia Ketiga (istilah ini pun dibuat oleh negaranegara kaum kapitalis). Inilah yang mendorong PBB meluncurkan program MDGs (Millennium Development Goals) dan kemudian SDGs (Sustainable Development Goals).
Bagaimana bangsa Indonesia dengan umat Islam di dalamnya menghadapi semua masalah dan tantangan global tersebut. Mempertimbangkan faktor eksternal itu dan memperhatikan problematika kebangsaan dan keumatan, maka pertama dan utama sekali perlu adana strategis kebudayaan nasional yang tiada lain berorientasi pada pencapaian visi kebangsaan yang ada.
Umat Islam yang memiliki tanggung jawab besar dituntut untuk dapat merumuskan strategi kebudayaan dari perspektif Islam. Strategi kebudayaan dan perjuangan umat Islam bukanlah sesuatu yang berada diselenggarakan di luar kerangka pembangunan nasional.
Pertama, sesuai tema KUII kali ini, maka agenda strategis pertama yang perlu dirumuskan adalah konsep Indonesia maju, adil, dan beradab dari sudut pandangan Islam.
Atau, jika kongres menyetujui tiga kriteria tersebut dapat dikembangkan menjadi Indonesia maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat atau IMAM Berdamar (salah satu arti dari kata “damar” adalah lampu atau pelita, sehingga dapat diidealisasi sebagai bangsa maju yang memimpin dunia dengan cahaya cemerlang).
Umat Islam berhak bahkan berkewajiban mengajukan konsep pembangunan dalam kerangka visi kebangsaan yang disepakati. Perspektif Islam tentang pembangunan akan menjadi acuan atau salah satu acuan pembangunan nasional. Umpamanya, menarik untuk dielaborasi konsepkonsep Islam tentang ummah dan madinah, sebagai piranti lunak dan piranti keras dari masyarakat ideal.
Prinsip- prinsip ummah seperti persamaan (al-musawah), keadilan (al-‘adalah), dan permusyawaratan (al-syura), serta konstitusi (al-qanun), dapat merupakan kriteria utama dari wawasan kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
Sebagai piranti keras (dimensi eksoterik) madinah merupakan manifestasi dari peradaban tinggi yang terwujud dan menjadi kriteria utama dari Indonesia Maju. Konsep pembangunan Islami dapat pula digali dari konsep yang diajukan oleh filosuf Muslim seperti Ibnu Khaldun dengan ‘umran (pembangunan), atau Al-Farabi dengan al-Madinat al-Fadhilah (Negara Utama).
Agenda strategis kedua adalah revitalisasi pendidikan Islam. Umat Islam, melalui organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga Islam, perlu merumuskan Sistem Pendidikan Islam yang relevan dengan tuntutan zama. Sitem Pendidikan ini perlu memadukan tiga konsep yang disebut sumber-sumber Islam, yaitu konsep tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Pemaduan ini perlu juga dilanjutkan pada integrasi pemahaman terhadap ayat-ayat qauliyah (wahyu) dan ayatayat kauniyah (ilmu).
Dengan pemantapan landasan ontologis, kerangka epistemologis, dan orientasi aksiologis ilmu-ilmu pengetahuan maka Sistem Pendidikan Islam akan dapat menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu keduniaan.
Agenda revitalisasi pendidikan ini perlu menjadi agenda prioritas umat Islam. Hal itu dapat dimulai dengan membangun proyek-proyek percontohan untuk adanya Pusat Keunggulan Pendidikan (Centre for Educational Excellence).
Lebih lanjut, isyarat korelasi antara aspek Trilogi Pembangunan dapat dielaborasi dari Surah Quraisy, bahwa jatuh bangun peradaban dalam dinamika dimensi ruang dan waktu sangat tergantung kepada orientasi kerohanian bangsa terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid (falya’budu Robba hadza al-bayt), yang membawa dampak sistemik terhadap terwujudnya kesejahteraan atau prosperity (ath’amahum min ju’in), dan keamanan serta pertahanan atau security (wa amanahum min khauf).
Konsep pembangunan demikian perlu dirumuskan dengan baik dan diajukan serta diperjuangkan oleh partai-partai politik khususnya yang mendasarkan diri pada Islam.
Ketiga adalah agenda pemberdayaan dan kebangkitan ekonomi umat. Agenda ini sama pentingnya dengan agenda revitalisasi pendidikan Islam, bahkan antara keduanya terjalin hubungan kausalitas (dengan kekuatan ekonomi dapat dikembangkan pendidikan yang bermutu, dan dengan pendidikan yang bermutu akan dapat mendorong ekonomi yang kuat).
Agenda pemberdayaan ekonomi umat sudah dimulai terutama dengan adanya program pemberdayaan ekonomi oleh organisasi-organisasi Islam, dan penggalakan ekonomi syariah. Namun yang terakhir terlalu berfokus pada pengembangan keuangan dan lembaga keuangan syariah.
Agenda pemberdayaan dan kebangkitan ekonomi umat perlu melibatkan antara lain pengembangan etos kewiraswastaan di kalangan generasi penerus, peningkatan derajat pengusaha Muslim, pemudahan akses peminjaman modal, dan perluasan jejaring koneksi dan kolaborasi baik domestik maupun internasional.
Agenda pemberdayaan dan kebangkitan ekonomi ini meniscayakan soliditas dan solidaritas lintas batas organisasi, bahkan bila perlu dapat dilakukan melalui pengembangan sentimen pasar ekslusif.
Agenda prioritas keempat adalah agenda politik. Bidang politik merupakan bidang yang paling krusial bagi umat Islam, padahal politik menentukan keberadaan suatu kelompok dalam kehidupan nasional.
Politik menjadi sarana efektif bagi suatu kelompok dalam perlombaannya dengan kelompok-kelompok lain untuk merebut posisi strategis di arena nasional. Keadaan umat Islam dalam bidang ini melahirkan dampak baik positif maupun negatif terhadap kiprah umat Islam dalam bidang-bidang lain.
Masalah utama yang dihadapi umat Islam (baca: pendukung politik Islam formal yang diwakili oleh pendukung partai-partai politik berdasarkan Islam, dan partai-partai politik yang berbasis massa Islam) adalah adanya kesenjangan antara angka demografis umat Islam dan perolehan partai-partai tersebut dalam politik elektoral. Kenyataan tersebut pada tingkat tertentu mempengaruhi kekuatan kalangan Islam dalam proses pengambilan strategis kenegaraan, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif.
Faksionalisasi politik Indonesia berbasis aliran, khususnya antara apa yang disebut sebagai golongan Islam dan golongan kebangsaan/nasionalis (walaupun terminologi ini tidak tepat), kut mempengaruhi dinamika politik kekuasaan (power politics) dan politik alokasi nilai (value allocative politics).
Interaksi antara kedua golongan, walaupun sempat mencair dengan munculnya neo-santri sejak 1990an, masih berlanjut terutama pada Era Reformasi yang membawa kebebasan politik.
Perubahan struktural melalui amandemen konstitusi di awal Era Reformasi lebih lanjut mempengaruhi iklim politik dan positioning politik Islam formal.
Pemilihan langsung berdasarkan satu orang satu suara (one person one vote), umpamanya, telah mengubah realitas politik khususnya di lembaga legislatif. Hal demikian ikut dipengaruhi oleh budaya politik pragmatis dengan politik uang (money politics) yang dikendalikan oleh kaum pemodal dan mulai mendiktekan politik.
Dalam suasana demikian, maka agenda politik umat Islam perlu mengambil beberapa opsi pendekatan: Pertama, mendorong adanya partai politik Islam tunggal yang secara formal berfungsi sebagai kendaraan politik tokoh-tokoh umat Islam dan sarana artikulasi aspirasi politik umat Islam.
Kedua, mendorong diaspora para aktifis Islam ke dalam berbagai partai politik sebagai sarana dakwah politik (al-da’wah bi alsiyasah). Ketiga, mendorong organisasi-organisasi Islam untuk berfungsi efektif sebagai agen penguatan landasan budaya (cultural foundation) bangsa, khususnya penguatan literasi politik umat.
Baca sambungan di halaman 6: “Penutup”